The Details

Sep 25, 2025 .

Memelihara Mimpi

Ternyata, bermimpi besar itu boleh untuk siapapun. Meskipun bagiku tidak semua mimpi harus menjadi kenyataan. Setidaknya, mimpi yang terus dipelihara akan selalu tumbuh menjadi harapan. Mungkin kalimat itu juga yang menjadikan aku Mila hari ini. Beberapa orang diantara kita mungkin pernah merasakan hal yang sama denganku. Malu punya mimpi besar. Bukan karena merasa tidak kompeten, hanya saja aku merasa bahwa jalannya yang tidak ada. Entah kenapa dulu aku berpikir bahwa orang sepertiku tidak pantas melayangkan mimpinya jauh-jauh. Bahkan aku meyakini bahwa orang-orang tahu betul aku tidak akan sampai ke sana. Namun, cara Tuhan menyelamatkan manusia itu selalu indah. Aku melihat bagaimana Ia hadir dengan segala jalannya. Tuhan hanya butuh kita percaya dan itu cukup.

Sekolah-sekolah elit selalu menjadi primadona. Seperti menawarkan masa depan cerah bagi sang juara. Tapi begitulah Hidup, apa yang dimau kadang harus menjadi satu hal yang harus diikhlaskan. Aku tidak diizinkan untuk sekolah di tempat yang aku mau. Sekolah dasarku selalu dianggap lelucon. “Mewah” katanya. Hanya untuk menyebutnya “Mepet Sawah”. Ketidakberuntungan itu berlanjut hingga akhirnya angkatanku menjadi angkatan terakhir di sekolah itu. Aku dan empat temanku harus pindah agar kami bisa melaksanakan ujian nasional. Aku pertegas sekali lagi “empat temanku”. Bayangkan saja sebelum kami pindah, hanya ada 5 siswa dan beberapa guru dalam satu sekolah. Lucu sekali ketika upacara hari senin dilaksanakan. Kata yang tepat untuk mendeskripsikannya adalah sepi. Tapi, itu dulu rasanya menyenangkan. Meskipun jika diingat-ingat sekarang menjadi sangat mengenaskan ya?

Katanya, butuh percaya untuk mewujudkan mimpi. Tapi bagaimana bisa percaya dengan mimpi besar saat percaya pada kemampuan diri sendiri saja tidak pernah diajarkan. Sebuah titik balik berada di sekolah yang baru. Berinteraksi dengan teman-teman baru yang kemudian menyadarkanku bahwa aku tidak mengerti apa-apa. Merasa jauh tertinggal. Bahkan satu dari temanku harus tinggal kelas karena tidak bisa mengikuti standarnya. Adaptasi dengan lingkungan baru cukup membuatku kewalahan. Rasa tertinggal dan tidak tahu apa-apa menjadi jurang yang aku tidak ingin sedikitpun terjerumus kesana lagi. Habis-habisan aku mengejar ketertinggalan, agar bisa merasa diterima. Merasa pantas melanjutkan sekolah setinggi-tingginya, dan selayak-layaknya menjadi mimpi baru yang tumbuh dan mungkin akan merekah suatu saat nanti.

Selama masih bersedia hidup, manusia akan selalu dihadapkan dengan pilihan. Mau tidak mau konsekuensinya akan berujung panjang. Di akhir masa wajib sekolah, debat hangat antara keinginan anak dan orang tua memenuhi meja makan setiap sorenya, sedangkan keputusan harus segera bulat. Pilihan berbakti atau memenuhi ambisi tiba-tiba dibayang-bayangi rasa bersalah. Bekerja dan membantu mengurangi beban mengisi perut yang selama ini ditanggung oleh ayah, atau melanjutkan sekolah untuk memenuhi harapan hidup yang lebih layak. Bidikmisi menjadi tangga yang mengantarkanku ke tempat yang Aku mau kala itu. Universitas Diponegoro, Kota Semarang perjalanan panjangku dimulai. Keputusan berkuliah, terasa seperti perjudian. Berharap ada kemenangan di akhir perjalanan. Aku berjalan penuh ragu, tapi ini kemauanku. Aku harus memenangkannya. Meskipun saat itu justru label anak tidak tahu diri yang melekat padaku. Hanya karena aku memilih untuk pergi jauh dan meninggalkan orang rumah dengan kondisi Ibu yang jauh dari kata baik-baik saja, diagnosis Tuberkulosis terdengar lebih mengerikan. Merenggut sehat, hingga Ibu terkulai tidak berdaya. Alih-alih dianggap keren karena dapat melanjutkan pendidikan di salah satu universitas terbaik di Indonesia, aku justru dinilai lari dari tanggung jawab. Menyedihkan.

Entah kapan label menyedihkan itu harus kubayar lunas. Intinya, aku harus memenangkan pertaruhan ini atau aku harus berakhir mengenaskan dan sia-sia. Merusak percaya dan kesempatan yang telah aku perdebatkan dengan orang tua maupun keluarga. Namun lagi-lagi dunia ini berputar sesuai kehendak Tuhan, bukan mengikuti kemauan makhluk yang bernama Mila. Hingga pada masa kuliah itu sebentar lagi selesai. Banyak jalan yang nampak di depan mata, namun entah bagaimana cara membuka pintunya. Berharap memenangkan satu diantara banyak pilihan baik itu. Namun jalanku ternyata berbeda. Kembali menjadi pecundang, dengan tidak berbuat apa-apa. Sedangkan satu per satu teman-temanku mengumumkan kabar baik tentang pekerjaan barunya. Tanpa mereka tahu, aku sedang berusaha. Aku mencari pekerjaan yang layak itu. Puluhan, mungkin juga sudah ratusan email yang kukirimkan kesana kemari, seperti pesan yang tak kunjung menemui tuannya. Apakah aku menyerah? Jawabannya tidak. Pekerjaan-pekerjaan yang dianggap remeh aku lakukan agar aku bisa menjadi manusia yang berguna untuk kedua orang tuaku. Kata mereka, tidak perlu sekolah jika pada ujungnya melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti itu juga. Mereka masih menganggap semua yang kulakukan adalah hal yang sia-sia. Apakah aku kesal? Tentu saja, iya. Tanpa pengalaman menghadapi orang-orang baru, masalah dan hambatan di rantau yang mau tidak mau aku hadapi sendirian, mungkin aku hanya akan menjadi pendendam ketika dihadapkan dengan hal-hal seperti ini dan tanpa jalan yang telah terlewati mungkin aku juga tidak akan belajar bagaimana cara memanusiakan manusia. Bijak dalam bertutur dan berfikir.

Caraku memandang dunia akhirnya semakin luas. Bahwa, mungkin pekerjaan yang aku idamkan belum diberikan kepadaku karena disana Tuhan sedang menyelamatkan orang lain yang lebih membutuhkan pekerjaan itu. Pertolongan akan datang kepadaku tepat pada waktunya. Sama seperti kesempatan baik yang orang lain dapatkan. Bisa jadi waktu aku menjadi pengangguran adalah kesempatan yang sengaja Tuhan luangkan. Disisi lain antara merasa iri dengan teman sepantaran yang sudah sibuk mengurusi berkas-berkas pekerjaannya, atau harus sibuk pindah kota untuk penugasan dari bosnya, waktuku justru terasa sangat kosong. Sedikit juga sedikit hampa. Tapi inilah jalan yang telah digariskan oleh Tuhan, hingga aku lebih banyak melihat. Ada secerca harapan yang kembali tumbuh. Kali ini harapan itu tercium harum mewangi. Saat aku menyadari bahwa jalan menuju kesana seperti dipermudah. Pilihan mau apa aku setelah ini ternyata jatuh pada pilihan untuk mengambil kesempatan melanjutkan pendidikan lagi. Kali ini, mimpi yang entah beberapa tahun lalu sudah kulupakan ikut tumbuh dan menguatkan. Menjadi seorang akademisi, mengajar, dan kembali ke dunia kampus itu terasa sangat dekat. Mungkin ini memang jalannya. Aku seperti melangkahkan kaki ke tempat yang lebih dekat pada mimpi yang penuh pertaruhan. Namun kata orang bijak hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan pernah dimenangkan. Waktu yang tepat untuk bertaruh, lagi dan lagi. Berharap kesempatan dan kesiapan untuk menjadikan mimpi itu terwujud bertemu diwaktu yang tepat.

Sedikit kisah memenangkan LPDP. Betapa gundahnya kala itu mengeluarkan uang Rp600.000 untuk biaya tes TOEFL. Hanya sekali percobaan dan taruhannya hanya antara berhasil atau gagal. Sementara aku menyadari bahwa salah satu kekuranganku adalah penguasaan bahasa asing. Bagiku uang sejumlah itu terasa sangat berharga untuk dipertaruhkan dengan selembar kertas sertifikat. Namun apalah daya, mendaftar beasiswa adalah jalan terbuka satu-satunya. Bermodal nekat, aku mencoba mempertaruhkannya. sendiri dan tidak ada orang yang tahu. Bahkan kedua orang tuaku. Gaji pertamaku akhirnya kurelakan untuk mendapatkan selembaran sertifikat itu. Percobaan pertama dan terakhir memunculkan nilai 473. Lemas tidak berdaya. Sejak nilai ini muncul aku sudah berfikir jika LPDP bukan jalanku. 473, sedang yang dipersyaratkan adalah 500. Percobaan yang ke dua? Oh Tuhan, rasanya masih tidak ikhlas semua ini terjadi begitu saja, sia-sia. Hingga bolak balik aku melihat syarat pendaftaran LPDP. Berharap aku salah lihat. Namun angka yang terpampang tidak berubah setelah sekian kali aku melihatnya lagi. Namun kali terakhir aku melihatnya. Ada yang menarik perhatianku. Dimana saat itu nilai TOEFL yang tertulis disana jauh lebih rendah. Jalur prasejahtera. Aku mengulik segala persyaratannya dan menimbang-nimbang apakah aku memenuhinya. Bagaimana diantara ketidakmungkinan ini ada satu jalan mulus yang aku temui. Semua persyaratan terpenuhi dan aku putuskan untuk mendaftar LPDP melalui jalur prasejahtera.

Tidak meletakkan ekspektasi yang terlalu tinggi. Setiap hariku menunggu pengumuman selalu dihiasi dengan “semoga” dan “tolong” kepada Tuhan. Berharap percobaan kali ini akan berhasil dan memberiku lagi harapan-harapan baru. Jujur saja 1,5 tahun setelah kelulusanku dari pendidikan strata satu dan belum mendapatkan pekerjaan yang diinginkan sedikit demi sedikit memudarkan percaya diriku. Menghakimi diri dengan pertanyaan “apakah aku tidak pantas?” padahal semua ini hanyalah perihal waktu yang tepat dan jenis rezeki yang dianugerahkan oleh Tuhan. Satu persatu pengumuman dari serangkaian seleksi dilalui dengan hasil yang melegakan hati. Hingga akhirnya aku sampai di titik ini. Mahasiswa Magister di Universitas Gadjah Mada dan awardee LPDP. Rasanya hampir seperti mimpi. Ya, ini mimpi yang menjadi kenyataan. Indah sekali. Meskipun sudah banyak mimpi-mimpi buruk yang dilalui, namun akhirnya mimpi indah ini datang diwaktu yang tepat. Aku pernah mendengar jika hidup yang kita jalani sekarang adalah perwujudan doa dari masa lalu. Menurutku itu benar adanya. Tidak peduli doa kecil atau besar. Semua akan terwujud pada waktunya. Aku ingat betul waktu kecil aku ingin sekali bisa naik pesawat. Setiap pesawat melewati rumahku dengan suara gemuruhnya aku selalu berlari keluar rumah untuk melihatnya. Membayangkan aku di atas sana dengan segala pemandangan yang bisa ditelusuri oleh mata. Berdoa kepada Tuhan, aku juga ingin berada disana. Siapa sangka doa anak kecil itu terkabul di tahun 2024. LPDP menjadi perjalanan yang begitu luar biasa. Perasaan dan pengalaman yang dulu hanya bisa dibayangkan sekarang bisa dirasakan. Pesawat pertamaku, adalah perjalanan pertama menuju Jakarta untuk megikutin Persiapan Keberangkatan (PK-222). Nuraga Tiyasa kami menyebutnya.

Hangat dan penuh api semangat. Di sana perasaan “bisa menjadi orang hebat” kembali mendiami sanubariku. Optimisme bisa menjadi manusia yang berguna itu ada. Berkumpul dengan orang-orang hebat, membuatku yakin aku bisa seperti mereka. Lingkungan ini begitu indah. Pemuda-pemuda hebat itu benar adanya. Bahkan ketika berbincang dengan mereka, bukannya merasa dikecilkan justru aku merasa ada percikan semangat yang dikobarkan. Mereka yakin dan percaya bahwa orang yang belum bisa apa-apa itu hanya belum, bukan tidak bisa.

Di lingkungan baruku, sebagai mahasiswa S2 aku juga banyak belajar hal baru. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, tidak ada batas untuk memperoleh ilmu dari siapa pun. Pemandangan yang menakjubkan menurutku saat aku kembali bertemu orang-orang di kelas dan belajar tentang hal baru. Namun kali ini tidak dengan teman yang usianya sama. Lingkungan pertemanan semakin luas. aku melihat betapa pengalaman memiliki peran yang besar dalam hidup. Entah itu dalam bentuk luasnya pengetahuan, atau justru hadir dalam bentuk sikap yang tenang dan mengayomi. Banyak orang hebat yang aku kenal. Banyak cerita yang aku dengar. Belajar tidak hanya dari kelas. Belajar tidak hanya tentang ilmu pengetahuan. Tapi juga belajar tentang bagaimana menjadi manusia. Belajar bagaimana hidup dengan baik. Setiap hari rasanya aku tidak menyangka sudah ada disini dengan orang-orang hebat ini. Kesempatan-kesempatan baru akan aku coba disini. Hidup terasa semakin seru dan menyenangkan. Alih-alih membuatku terpuruk, tantangan yang kuhadapi sekarang justru menjadi pacuan untuk kembali belajar dan belajar lagi. Karena dari sini juga aku menyadari bahwa mungkin saat kita tidak tahu apa-apa, saat semua terasa sulit untuk dijalani, saat semua rasa ketakutan itu menyelimuti dan membuat kita merasa tak berdaya, itu hanya sebatas perasaan yang akan selalu bisa kita hadapi. Semua akan berlalu dengan meninggalkan bekas yang akan membuat kita semakin tangguh menjadi seorang manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa di awal masa perkuliahan, masih terbesit rasa rendah diri. Merasa tidak pantas dan tidak kompeten di lingkungan ini. Hingga aku menyadari bahwa ada banyak orang-orang hebat juga masih harus belajar untuk mengalahkan rasa ketidaktahuan. Manusia memang terbatas sehingga perlu selalu belajar untuk memperluas pengetahuan dan mempersempit keterbatasan itu. Jika saat ini ada perasaan tidak pantas dan tidak bisa seperti mereka, maka perasaan itu bukan sebuah hal yang mutlak. Kita hanya perlu belajar lebih lama dan lebih banyak lagi untuk bisa seperti mereka atau mungkin melampaui langkah mereka.

Kalau diingat-ingat lagi, pertolongan Tuhan indah sekali. Aku tidak akan bisa sampai di titik ini jika hanya mengandalkan kemampuanku semua. Tapi dari itu, tangan Tuhanlah meraih dan menolongku. Katanya, aku hanya beruntung. Aku juga menyadari banyak sekali keberuntungan yang aku dapatkan. Tapi menurutku semua ini bukan hanya soal keberuntungan. Namun juga doa, yang selalu diyakini. Jika dilihat-lihat masih banyak manusia yang lebih hebat dariku, namun nasib baik ini akhirnya menuju ke arahku. Mungkin ini yang mereka katakan aku beruntung. Terlepas dari semua itu, ada usaha yang diam-diam dirajut, ada doa yang setiap hari diyakini dengan penuh pengharapan. Hingga sekarang semua sudah Tuhan dengar. Kita hanya manusia. Tuhan-lah yang Maha segalanya. Perihal kita tidak punya apa-apa untuk menggapai apa yang dimimpikan itu tidak apa-apa. Karena kita tidak sekuat itu untuk membuatnya nyata. Bagi sebagian orang yang tidak memiliki banyak keuntungan untuk menabur banyak mimpi, mungkin harapan terlihat kecil. Tapi sejak saat ini aku percaya bahwa tidak punya apa-apa itu tidak apa-apa. Hanya butuh keberanian dan sepenuhnya percaya bahwa Tuhan akan selalu ada. Jika tidak hari ini mungkin besok. Jika bukan lewat jalan ini mungkin melalui jalan lain. Aku selalu percaya bahwa semua doa akan terkabul. Kita akan berada di tempat yang kita impikan. Tugas kita sebagai manusia hanya hidup dengan sebaik-baiknya.

Melihat kembali yang sudah terlewati selama ini aku merasa bahwa tidak ada yang sia-sia dengan memelihara mimpi. Dia tidak banyak meminta ini dan itu. Hanya meminta untuk terus dipercaya dan itu cukup untuk terus menyalakan semangat agar kita sampai disana. Jika aku yang sekarang melihat diriku yang dulu, maka ribuan terima kasih kuucapkan kepadaku karena tidak menyerah kala itu. Kemudian tidak menjadi pemarah dan menjadi pendendam lalu mengutuk diri sendiri saat kegagalan menghantam tanpa ampun. Lihat sekarang banyak hal manis yang dapat dipetik. Bahkan kini di kampung halamanku, aku banyak mendengar bahwa anak-anak kecil yang juga tetanggaku berkata “aku ingin seperti Mbak Mila nanti”. Kali ini aku benar-benar merasa menang. Jika ditanya apa keberhasilan terbesar saat ini. Jawabanku mungkin bisa menjadi orang yang menginspirasi. Bisa dibilang, di lingkungan tempat tinggalku, belum banyak anak-anak yang kuliah. Rata-rata hanya lulus SMA, bekerja di pabrik dan menikah. Begitulah realitas pada umumnya. Namun, ketika aku melihat anak-anak ini dengan sadar mengatakan ingin sepertiku yang bisa kuliah gratis. Aku menjadi terharu dan sangat bersyukur atas hal itu. Mimpi yang terdengar sangat percaya diri dan penuh ambisi. Seperti membangunkan masa laluku. Jika semua ini berhasil di aku, harapan besar juga akan aku himpun agar hal yang sama bisa berhasil semua orang. Termasuk anak-anak ini dan mungkin juga kalian, yang sedang berada di posisiku yang sama denganku beberapa tahun lalu. Aku tidak bilang ini mudah. Aku juga kewalahan. Namun aku harus mengatakan bahwa semua ini sebanding. Tetaplah keras kepala dengan semua mimpi-mimpi itu, karena akhir yang indah itu masih berhak untuk siapa pun. Semoga cerita semacam ini dapat menjadi virus yang terus menjangkiti banyak orang. Tidak peduli si kaya atau si miskin, si pintar atau si bodoh agar bermunculan cerita-cerita baru yang lebih ajaib. Terakhir, meski tidak semua yang ditanam harus berbunga. Aku harap diriku dan semua orang tetap tumbuh dan merekah, semakin indah, setiap hari dan seterusnya.

Tulisan oleh:

Alimah Putri Milania
Magister Ilmu Hama Tanaman
Persiapan Keberangkatan (PK) 222
Angkatan Awardee: 2023 Genap

Reviewer:
Awalia Nur Sakinah
Magister Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *