Benih di Tanah yang Baru
Prolog
Aku tidak pernah meminta untuk lahir sebagai benih yang dipindahkan. Sejak awal, tanah lamaku sudah cukup bagiku. Tanah itu akrab, mengerti kebiasaanku, mengenal aroma tubuhku, bahkan tahu betul bagaimana aku menegakkan batang meski angin seringkali menggoda. Namun, sebuah keputusan yang lebih besar daripada diriku memintaku untuk meninggalkan tanah itu. Bukan karena ia buruk, bukan karena aku sudah tidak cocok, melainkan karena ada alasan yang tak sepenuhnya kupahami.
Aku diletakkan dalam wadah kecil, lalu diangkut menempuh perjalanan jauh. Aku hanya bisa menggigil, menunggu, sambil terus bertanya-tanya: apakah di tanah baru itu aku akan tumbuh, atau justru layu sebelum sempat bernapas lega? Pertanyaan itu terus berulang, bagai gema yang tak punya ujung.
Di perjalanan, aku menyadari betapa tak berdayanya aku. Benih sekecil ini tak bisa menolak, tak bisa melawan. Namun justru di sana, aku belajar: terkadang hidup mengajarkan kita melalui keterpaksaan. Aku tidak memilih, tapi aku dijemput oleh keadaan.
Keterasingan
Ketika akhirnya aku diturunkan, pemandangan yang kulihat sungguh berbeda. Tekstur tanahnya kasar, warnanya lebih pucat dari tanah yang biasa kupijak. Bau airnya asing, ada rasa asin yang samar seolah menyisakan sisa laut jauh di masa lalu. Anginnya menusuk, lebih dingin daripada hembusan hangat tanah lamaku.
Aku ditempatkan di sebuah lahan yang luas, penuh dengan benih-benih lain yang juga baru ditanam. Sebagian terlihat tenang, sebagian lainnya gemetar seperti aku. Ada yang segera menancapkan akarnya, seolah siap menghadapi apa pun. Tapi aku? Aku hanya diam, menunggu, dan dalam hati bertanya: apakah aku bisa benar-benar tumbuh di sini?
Hari pertama terasa begitu panjang. Matahari yang menyinariku seakan asing, bukan matahari yang dulu kukenal. Cahaya itu lebih silau, menusuk, membuatku enggan membuka diri. Aku merasa seperti orang asing yang dipaksa menghadiri pesta yang penuh warna, sementara aku sendiri masih berpakaian kusam.
Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Aku mencoba menumbuhkan akar, namun tanah ini begitu padat. Akar kecilku berulang kali terbentur bebatuan kecil yang terkubur di dalamnya. Setiap kali aku berusaha menembus, aku seolah ditolak. Aku pun merasa lelah, bahkan sempat berpikir: mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk bertahan di sini.
Ada benih lain yang sudah mulai menegakkan batangnya. Aku bisa melihat mereka menghadap matahari dengan gagah, seolah-olah sejak awal memang ditakdirkan berada di sini. Mereka tampak percaya diri, tidak terganggu oleh angin atau tanah yang asing. Aku iri sekaligus cemas.
Namun di sela-sela kecemasan itu, aku menemukan satu hal kecil: meski keras, tanah ini menyimpan kelembapan. Meski berbeda, airnya tetap mampu membasahi akar-akar kecilku. Aku tidak menyukainya sepenuhnya, tetapi aku tidak bisa menolak kenyataan bahwa kelembapan itulah yang membuatku tetap hidup.
Ingin Kembali atau Bertahan
Waktu berjalan. Akar-akar kecilku mulai menjelajah lebih dalam. Di sana, aku menemukan hal-hal yang tak kuduga: cacing tanah yang ramah, semut-semut yang sibuk membangun jalannya, bahkan sisa daun yang membusuk yang diam-diam memberiku nutrisi. Lingkungan ini, yang awalnya kuanggap asing, ternyata punya caranya sendiri untuk menyambutku.
Aku tidak mengatakan bahwa semuanya mudah. Ada juga hewan yang kadang mengganggu, ada batu-batu besar yang menghalangi jalanku, bahkan ada momen ketika hujan turun terlalu deras hingga hampir mencabutku. Tapi semakin lama, aku sadar bahwa setiap lingkungan, sekeras apa pun, selalu menyimpan peluang untuk ditempati.
Aku mulai menumbuhkan batang kecil, lalu daun yang masih rapuh. Meski sering goyah diterpa angin, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku tidak lagi sekadar menempel pada tanah ini; aku mulai menjadi bagian darinya.
Meski ada sedikit pertumbuhan, bayangan tanah lama masih menghantuiku. Aku kerap membandingkan: tanah lamaku lebih hangat, airnya lebih manis, anginnya lebih lembut. Aku rindu pada rasa akrab itu. Ada saat-saat aku berharap bisa kembali, meski kutahu itu mustahil.
Dalam pergulatan batin itu, aku sadar sesuatu: kerinduan memang manusiawi, tapi tidak bisa menjadi alasan untuk berhenti tumbuh. Jika aku terus menoleh ke belakang, aku tidak akan pernah bisa menegakkan batangku di sini. Aku hanya akan menjadi benih yang mati sebelum sempat menjadi pohon.
Pada akhirnya, aku memilih jika memang aku sudah ditempatkan di tanah ini, maka aku harus tumbuh di sini. Aku tidak bisa menunggu tanah ini berubah menjadi tanah lamaku. Aku lah yang harus belajar menyelami tanah ini, menyesuaikan diri, dan menemukan ruangku sendiri.
Pertumbuhan
Hari-hari berlalu. Akar-akar kecilku semakin kuat. Aku belajar menekuk tubuhku, mencari celah di antara batu, dan menyerap air meski kadang rasanya asing. Setiap kali ada tantangan, aku menyesuaikan diri. Ternyata, tanah yang awalnya kukira padat dan kejam, menyimpan banyak nutrisi yang tak kumengerti sebelumnya.
Akar-akar itu mengajarkanku sesuatu: tidak semua jalan harus lurus. Kadang, kita justru harus berbelok, menghindar, bahkan memutar jauh untuk sampai ke sumber kehidupan. Dan justru dalam belokan-belokan itu, aku menemukan kekuatan yang tidak pernah kupunya sebelumnya.
Batangku kini lebih tinggi. Daun-daunku mulai menghijau. Aku tidak lagi sekadar benih asing yang ragu, aku telah menjadi tunas yang punya identitas baru. Angin yang dulu kurasa menusuk kini menjadi teman yang mengajarkanku cara bergoyang tanpa patah. Matahari yang dulu terasa silau kini memberiku energi untuk terus menumbuhkan daun.
Aku masih rapuh, tentu saja. Kadang ada badai yang membuatku hampir tercabut, kadang ada musim kering yang membuatku nyaris layu. Tapi di setiap tantangan itu, aku menemukan alasan untuk tetap berdiri. Aku sadar, pertumbuhanku bukan hanya tentang aku dan tanah ini. Tapi juga tentang bagaimana aku belajar menerima perubahan, menerima kenyataan bahwa hidup selalu bergerak.
Epilog
Jika aku menoleh ke belakang, aku nyaris tidak percaya bahwa aku bisa sampai sejauh ini. Dari benih yang ketakutan, kini aku telah menumbuhkan batang, daun, bahkan tunas-tunas kecil. Aku tidak lagi sekadar tamu di tanah ini, aku adalah bagian dari tanah ini.
Aku belajar bahwa adaptasi bukan tentang menghapus rasa asing, melainkan tentang berdamai dengannya. Asing akan selalu ada, tetapi ia tidak harus menjadi musuh. Ia bisa menjadi pengingat bahwa setiap pertumbuhan selalu lahir dari ketidaknyamanan.
Dan pada akhirnya, aku menemukan motivasi yang tidak pernah kucari secara sadar: aku tidak dipindahkan untuk sekadar bertahan hidup. Aku dipindahkan agar aku tumbuh dengan cara baru yang tidak pernah kubayangkan.
Kini aku berdiri sebagai pohon muda di tanah ini. Aku mungkin belum sebesar pohon lain, tapi aku tahu aku sedang tumbuh. Dan meski masih ada rindu pada tanah lama, aku belajar bahwa setiap tanah yang kita pijak punya kisahnya sendiri untuk kita tulis.
Tulisan oleh:

Aulia Ulfa Septiryani
Magister Ilmu Hukum
Persiapan Keberangkatan (PK) 257
Angkatan Awardee: 2025 Ganjil
Reviewer:
Awalia Nur Sakinah
Magister Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan



