Dua Lelaki Keras Kepala
Kisah ini bermula pada tahun 2015, setelah saya lulus SMP. Kala itu, bapak menyuruhku untuk melanjutkan sekolah di luar provinsi, tepatnya di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Jujur saja, saya menolak keinginan tersebut. Alasannya, saya yang saat itu baru berusia 15 tahun merasa belum memiliki pengalaman apa pun dan tidak siap untuk hidup merantau jauh dari orang tua.
Namun, perintah bapak bukanlah sesuatu yang bisa ditolak atau didiskusikan, melainkan harus ditaati. Akhirnya, saya pun berangkat dengan kapal dan memulai kehidupan baru di sana. Saya bersekolah di SMA Negeri 2 Baubau, salah satu SMA favorit di kota itu. Singkat cerita, tiga tahun berlalu dan saya pun lulus.
Tahun 2018, setelah lulus SMA, aku sebenarnya ingin langsung bekerja. Alasanku sederhana: aku melihat para senior yang kuliah pun pada akhirnya juga bekerja. Jadi, menurutku, lebih baik langsung saja.
Namun, bapak punya rencana lain. Beliau ingin aku melanjutkan kuliah. Aku menolak dengan alasan yang sama, tapi bapak adalah orang yang keras. Bukan hanya wajahnya yang tegas, setiap kata yang keluar dari mulutnya pun terdengar penuh tekanan.
“Kau harus kuliah!” tegasnya.
Aku tetap menolak. Perdebatan kami berakhir dengan makian darinya. Heh, begitulah bapak.
Logika yang menurutku lurus, tampak bengkok di hadapannya. Dan akhirnya, kupikir, jika perintahnya sudah sekeras itu, mungkin ada baiknya aku menuruti saja.
“Baik, aku akan kuliah,” kataku akhirnya, “tapi ada syaratnya. Aku harus di Surabaya.” Alasanku ada dua. Pertama, di kota itu tak ada satu pun orang dari kampungku, sebuah jaminan kemerdekaan total. Kedua, dan ini yang lebih penting bagi hatiku, Surabaya adalah rumah bagi Persebaya, klub yang kucintai sejak 2013.
Tak butuh waktu lama, ranselku penuh dan tiket sudah di tangan. Aku berangkat seorang diri, menyeberang lautan dengan kapal, lalu menyambung perjalanan dengan pesawat untuk pertama kalinya. Jujur, aku buta. Bagaimana caranya naik pesawat? Aku bertanya pada bapak. Dia sendiri tak tahu.
“Tanya saja security di bandara itu. Mereka pakai Bahasa Indonesia juga,” jawabnya, setengah mengejek. Selalu begitu caranya, menyelipkan pesan tersirat di antara kalimat-kalimat : hadapi duniamu sendiri.
Tahun pertama kuliah terasa hambar. Rutinitasnya sama saja seperti SMA: kampus, pulang, tidur. Tak ada gairah, tak ada percikan. Sampai akhirnya aku tersandung pada sebuah pertemuan yang mengubah segalanya. Perkumpulan mahasiswa dari tanah kelahiranku, Wakatobi. Ada HMTS (Himpunan Mahasiswa Tomia Surabaya) dan FKMTJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Tomia Se-Jawa). Di dua organisasi inilah aku pertama kali mengeja kata “perjuangan” dan “kepemimpinan”. Belum genap satu semester, aku sudah didapuk menjadi Pimpinan Sidang I pada Kongres FKMTJ di Yogyakarta di Bulan Desember 2018.
Kuliah mendadak menjadi berwarna. Ada rapat yang harus direncanakan, diskusi alot hingga larut malam, perdebatan sengit yang diakhiri tawa, dan kritik yang membangun. Hidupku tak lagi sekadar tentang tugas dan ruang kelas.
Berbekal pengalaman itu, di tahun kedua aku memberanikan diri masuk ke arena yang lebih besar. Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) mengajariku tentang pengabdian masyarakat, sebuah cinta yang terus tumbuh hingga hari ini. Lalu Ikatan Mahasiswa Teknik Lingkungan Indonesia (IMTLI) membukakan gerbang pertemanan yang lebih luas. Jejaringku membentang dari Sabang sampai Merauke. Rasanya, di setiap kota besar kini ada kawan untuk disambangi. Di sini pula aku belajar arti pengabdian yang nyata: sosialisasi ecobrick kepada ibu-ibu PKK, menanam mangrove di pesisir yang gersang.
Aku juga bergabung dengan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Alasannya sederhana, di kampungku, 95% mahasiswa adalah anak HMI. Ada adagium di sana, “Maju HMI, mundur HMI.” Sejak kecil aku sering melihat mereka berdiskusi, membahas hal-hal yang dulu terasa berat. Aku ingat satu perdebatan mereka, “Kenapa manusia harus menyembah Tuhan?
Bukankah Dia Mahabesar, mengapa butuh disembah?” Dulu pertanyaan itu membuat keningku berkerut. Sekarang, kurasa itu hanya buang-buang waktu.
Dari semua organisasi itu, satu hal yang paling terasah adalah kemampuanku berbicara. Meski sejak SD aku sering menjadi pemimpin upacara, organisasilah yang benar-benar menempa keberanianku untuk berdiri dan bersuara di hadapan banyak orang. Saking aktifnya, dekan dan Warek Kemahasiswaan sering menunjukku untuk mewakili kampus dalam berbagai acara nasional, dari Festival Sanitasi Lingkungan di Jakarta hingga Latihan Kepemimpinan di Malang.
Lalu datanglah tahun ketiga, tahun terburuk bukan hanya untukku, tapi untuk seluruh dunia. Pandemi Covid-19 mengunci segalanya. Kampus, mal, pasar, semua senyap. Hanya satu tempat yang riuh rendah: rumah sakit. Setiap hari berita menyajikan angka kematian, bukan lagi puluhan, tapi ratusan.
Di tengah kekacauan itu, telepon dari bapak berdering. “Pulang!” perintahnya. Aku menolak. Surabaya sudah menjadi rumah keduaku.
“Kalau kau meninggal di situ, tidak ada yang mau urus, bodoh!” makinya dari seberang.
Kata-katanya seperti biasa, tajam menghunjam ulu hati. Tapi aku tahu, di balik kasarnya nada itu, ada ketakutan seorang bapak. Aku pun pulang.
Aktivitasku di kampung monoton: kuliah daring, nongkrong, tidur, sesekali ke laut atau ke hutan. Seru, tapi hambar. Aku rindu rapat, rindu sibuk, rindu riuh rendahnya organisasi. Kebetulan, teman-teman kuliah seangkatanku juga pulang kampung. Jaringan internet di desa kami buruk, jadi kami sering belajar bersama di kebun, di bawah naungan fale-fale (rumah kebun). Pagi sampai siang bertemu untuk kuliah, malam bertemu lagi untuk nongkrong.
Dari intensitas pertemuan itu, lahirlah sebuah ide: kita harus membuat komunitas. Kami menamainya IKSTBL 2018 (Ikatan Keluarga Silaturahmi Taliabu Barat Laut), wadah bagi angkatan SMA kami. Tujuannya jelas, kami ingin mengadakan diskusi publik, sesuatu yang belum pernah dilakukan angkatan mana pun di desa kami secara luring di tengah pandemi. Pengalaman organisasi di Surabaya menjadi bekal. Kami butuh logo dan kop surat agar terlihat profesional. Aneh, bukan? Di saat dunia berhenti berputar karena wabah, di pelosok Maluku Utara, sekumpulan anak muda justru sibuk mendirikan organisasi. Saat itulah aku sadar, organisasi telah menjadi bagian dari napasku.
Ketika pandemi mereda, aku kembali ke Surabaya. Kehidupan organisasi masih lesu. Tak lama, seorang senior menghubungiku untuk bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Taliabu (HMT). Aku didaulat menjadi ketua divisi. Tentu saja, aku terima.
Di tengah kesibukan itu, kuliah tak pernah kutinggalkan. IPK-ku tak pernah kurang dari 3,5. Ibuku sering berkelakar, “Ibu capek sering dipanggil ke depan ambil hadiah juaramu, Boy.” Mungkin ia bercanda, tapi itu benar. Selama 9 tahun di SD dan SMP, 18 kali ia maju ke depan panggung untuk menerima hadiah peringkatku.
Tahun keempatku diwarnai kesibukan di HMT. Pada bulan Juli, aku menjadi salah satu dari tiga perwakilan cabang Jawa Timur untuk berangkat ke Makassar. Dua minggu kami di sana, penuh dengan diskusi, konsolidasi, bahkan drama culik-menculik ketua umum cabang. Akhirnya, Ketua Umum PB HMT se-Indonesia terpilih, dan dia adalah kawan seperjuanganku dari Jawa Timur.
Akhir 2022, aku lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude. Ibu dan ketiga adikku hadir di acara wisuda, kecuali bapak. Ia harus mengurus panen cengkeh di kebun.
Setelah kembali ke kampung, suatu malam setelah makan makan malam, bapak bertanya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam. “Mau ke mana habis ini?”
“Aku ada dua tawaran kerja,” jawabku percaya diri. “Di perusahaan minyak di Sumatra dan tambang batu bara di Kalimantan. Gajinya lumayan.”
Bapak menghela napas panjang. “Hfff.” Helaan napas yang kukenal, pertanda ketidaksetujuan. “Kau lanjut kuliah saja, S2. Jangan dulu kerja. Kerja itu nanti.”
“Memang mampu membiayai?” balasku, mencoba mencairkan suasana dengan nada bercanda. “Igo (adikku) baru masuk kuliah. Takut membebani.”
“Biaya itu urusanku, bukan urusanmu! Tahu-mu hanya kuliah!” suaranya meninggi.
Malam itu, kami kembali berdebat sengit hingga dilerai Ibu. Seminggu penuh kami tak bertegur sapa, bahkan saat berpapasan di dalam rumah. Karakterku memang cerminan dirinya; sama-sama keras.
Hingga suatu malam, Ibu masuk ke kamarku. Kami mengobrol ringan, tertawa, sampai akhirnya ia menyinggung pertengkaranku dengan bapak. Suasana menjadi murung.
“Bapak itu hanya ingin,” ujar Ibuku lembut, “sebelum dia meninggal, dia ingin lihat anaknya lulus S2.”
Kalimat itu menyengatku seperti listrik. Aku terdiam, hening. Cairan hangat mulai menggenang di pelupuk mata. Benarlah kata orang, sekeras apa pun seorang anak laki-laki, ia akan selalu luluh di hadapan ibunya.
Beberapa hari kemudian, saat bapak kesulitan mengangkat barang berat, aku datang membantunya. Tak ada kata yang terucap, tapi itulah cara kami berbaikan. Tak lama setelah itu, aku memberanikan diri menghampirinya.
“Pak, aku akan lanjut S2,” kataku. Ia menatapku, menunggu. “Tapi syaratnya, harus di Jogja.”
Aku butuh alasan, dan yang keluar dari mulutku adalah, “Aku hanya ingin lari dari hiruk pikuk Surabaya.” walaupun sebenarnya ada alasan lain yang tak bisa diungkapkan disini.
Langkah pertama menuju Jogja adalah kemandirian. Tekadku bulat untuk tidak membebani pundak orang tua. Pencarian beasiswa pun dimulai, sebuah maraton panjang dari tingkat kabupaten hingga provinsi. Akhirnya, secercah cahaya datang dari seorang teman yang mengenalkanku pada LPDP. Setiap syarat, setiap esai, kupelajari dengan saksama. Puji Tuhan, pada akhir 2023, pintu itu terbuka. Aku resmi menjadi seorang penerima beasiswa LPDP (Awardee LPDP).
Namun, Jogja dan UGM ternyata bukan sekadar pelarian. Ia adalah kawah candradimuka, tempat panggilan jiwa yang lama terpendam kembali bergelora. Aku sadar, aku tak bisa hidup tanpa komunitas. Dorongan untuk berorganisasi, untuk bertemu dan bergerak bersama orang-orang baru, terlalu kuat untuk diabaikan.
Panggilan itu kujawab. Awal 2024, aku mendaftar sebagai pengurus di Kelurahan LPDP UGM dalam Kabinet Merakyat. Setahun kemudian, estafet kepemimpinan itu berlanjut. Pada tahun 2025, rekan-rekan memberikan kepercayaan yang lebih besar untuk menahkodai Kelurahan sebagai Lurah dalam Kabinet Kolaboran Hebat.
Kini aku tahu, setelah S2 usai, langkahku tak akan berhenti. Panggilan untuk berorganisasi akan terus berlanjut, entah itu di Mata Garuda Pusat, Mata Garuda Malutu Utara atau bahkan menempuh jalur yang lebih terjal: terjun ke dunia politik.
Selanjutnya aku akan menjalankan kehidupan yang sudah kurencanakan tak ada perintah keras apalagi paksaan, Walaupun perintah keras yang entah bagaimana selalu membawaku ke jalan yang lebih baik. Semoga orang tua kita diberikan umur panjang dan bisa melihat kita sukses di suatu hari nanti.
Tulisan oleh:

Boy Kurniawan
Magister Ilmu Lingkungan
Persiapan Keberangkatan (PK) 223