Eksistensi Kosmopolitanisme di Tengah Tren Proteksionisme Global: Studi Kasus Kebijakan Pembatasan Visa oleh Donald Trump Tahun 2025
Meningkatnya tren proteksionisme global telah menciptakan disrupsi terhadap tatanan global akhir-akhir ini. Gagasan kosmopolitanisme yang menjadi fondasi nilai universalisme dan simbol kesetaraan masyarakat global yang melampaui batas nation-state tengah menghadapi tantangan serius dalam perkembangannya. Hal ini tidak lepas dari menguatnya sentimen nasionalisme yang kembali diakselerasi oleh pemimpin populis, seperti kebijakan pembatasan visa yang diberlakukan oleh Donald Trump saat ini. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan bagaimana ketahanan gagasan kosmopolitanisme di tengah kondisi global yang problematik dan kompleks, terutama menghadapi kebijakan pembatasan visa tersebut.
Kemudian untuk memberikan preposisi yang jelas terhadap studi kasus tersebut, tulisan ini didasarkan pada argumen bahwa kebijakan pembatasan visa untuk berbagai negara tidak sepenuhnya dapat mendestruksi gagasan kosmopolitan. Karena gagasan ini lahir bukan atas inisiatif aktor negara, melainkan individu dan komunitas global yang sadar akan keterhubungan dengan nilai universalisme, kesetaraan, dan keadilan global. Sehingga kebijakan proteksionisme suatu negara tidak dapat mendisrupsi gagasan kosmopolit, ia akan menemukan jalannya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari respon dan resistensi masyarakat global terhadap kebijakan Trump tersebut. Alih-alih mendeskripsi gagasan cosmopolitan, justru yang muncul adalah solidaritas global yang menandakan gagasan kosmopolitan selalu relevan dengan kondisi global yang kompleks, meskipun tetap menghadapi tantangan.
Salah satu faktor utama yang memicu krisis kosmopolitanisme adalah ketidakpuasan terhadap globalisasi ekonomi. Meskipun globalisasi telah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang pesat di beberapa negara, manfaatnya tidak terdistribusi secara merata. Banyak pekerja di negara maju merasa terpinggirkan akibat outsourcing dan automasi, sementara ketimpangan ekonomi semakin melebar. Hal ini memicu kemarahan terhadap elit politik yang dianggap terlalu mengutamakan pasar global ketimbang kepentingan domestik. Akibatnya, muncul gerakan-gerakan populis yang menolak kerja sama internasional dan mengadvokasi kebijakan proteksionis, seperti kebijakan pembatasan visa yang kembali diberlakukan oleh Donald Trump akhir-akhir ini.
Kebijakan pembatasan visa oleh Donald Trump, termasuk larangan perjalanan (travel ban) terhadap beberapa negara mayoritas Muslim dan penguatan persyaratan visa kerja dan pelajar (seperti H-1B), mencerminkan pendekatan nasionalis yang menempatkan kepentingan domestik AS di atas nilai-nilai global. Menurut dokumen resmi Gedung Putih (White House, 2025), kebijakan ini memberlakukan pelarangan penuh bagi warga dari 12 negara (termasuk Iran, Libya, dan Yaman) serta pembatasan sebagian bagi warga dari 7 negara lainnya (seperti Kuba dan Venezuela), dengan pengecualian bagi pemegang visa yang masih berlaku dan penduduk tetap. Kebijakan ini didasarkan pada narasi “America First”, yang bertujuan untuk membatasi imigrasi, melindungi lapangan kerja warga AS, dan meningkatkan keamanan nasional. Namun, langkah ini bertentangan dengan prinsip kosmopolitanisme yang menekankan keterbukaan, mobilitas manusia, dan kerja sama lintas batas (Held, 2010, p. 21). Trump berargumen bahwa pembatasan diperlukan untuk mencegah terorisme dan persaingan ekonomi, tetapi realitanya kebijakan tersebut sebagai bentuk isolasionisme yang mendestruktif nilai universalisme global.
Kosmopolitanisme, sebagai filosofi yang mendukung interdependensi global dan penghargaan terhadap keragaman budaya, terhambat oleh kebijakan pembatasan visa Trump yang diskriminatif. Larangan terhadap warga dari negara-negara seperti Iran, Libya, dan Suriah membatasi pertukaran pelajar, akademisi, dan profesional, yang merupakan tulang punggung masyarakat kosmopolitan (Beck, 2006). Selain itu, pembatasan visa kerja H-1B mengurangi aliran talenta global ke AS, yang secara tradisional menjadi pusat inovasi dan keragaman tenaga ahli. Hal ini memperkuat kesan bahwa AS sedang meninggalkan perannya sebagai pemimpin global dalam mendukung nilai-nilai inklusivitas dan multilateralisme (Nussbaum, 2019).
Penulis berusaha menyajikan beberapa sub bab penting yang menjadi diskursus utama tulisan ini terkait dengan kebijakan hingga pertentantangan ideologis yang dapat menghambat eksistensi gagasan kosmopolitanisme, untuk memperlihatkan bagaimana tantangan perkembangan kosmopolitanisme di era disrupsi global akibat meningkatnya kebijakan proteksionisme global, termasuk kebijakan pembatasan visa yang kembali diberlakukan oleh Trump belakangan ini, diantaranya;
Paradoks Nasionalisme dan Kosmopolitanisme Donald Trump
Kebijakan pembatasan visa oleh Donald Trump memperlihatkan paradoksal nasionalisme dan kosmopolitanisme yang berkembang di AS. Di satu sisi kebijakan tersebut ingin mengakomodir kepentingan domestik AS, tetapi disaat yang bersamaan ia juga mendegradasi semangat kosmopolitan yang mengedepankan nilai universalisme untuk membuka sekat antar negara agar tercipta inklusifitas global. Kedua ideologi ini sering dianggap bertentangan karena nasionalisme cenderung membangun batas simbolis dan politis, sedangkan kosmopolitanisme berusaha meruntuhkan batas-batas tersebut (Cheah, 2012, p. 23). Namun dalam praktiknya, keduanya bisa saling melengkapi ketika nasionalisme tidak menjadi sempit dan kosmopolitanisme tidak mengabaikan lokalitas. Tetapi dalam realitanya di AS, Donald Trump tidak menyimbangkan kedua ideologi ini melainkan lebih condong untuk memperkuat nasionalisme.
Selain itu, larangan perjalanan (travel ban) terhadap negara-negara mayoritas Muslim juga menunjukkan paradoks ini. Kebijakan ini didasarkan pada retorika nasionalis yang anti-imigran dan anti-globalisasi, tetapi justru memicu reaksi kosmopolitan dari masyarakat global, termasuk protes dari sekutu AS dan aktivis HAM internasional (Gooding, 2025). Trump ingin menunjukkan bahwa AS bisa bertindak unilateral, tetapi kebijakannya justru memperkuat kesadaran global tentang pentingnya solidaritas melawan diskriminasi. Dengan kata lain, upaya Trump untuk menegaskan nasionalisme justru memicu respons kosmopolitan yang lebih kuat.
Pada akhirnya, kebijakan Trump tentang visa menggambarkan ketegangan abadi antara nasionalisme dan kosmopolitanisme. Di satu sisi, ia memanfaatkan sentimen nasionalis untuk mengkonsolidasikan dukungan politik, tetapi di sisi lain, ekonomi dan pengaruh AS tetap bergantung pada jaringan global (Nussbaum, 2019, p. 12). Kebijakannya mungkin berhasil memuaskan basis pendukungnya yang anti-imigran, tetapi juga memperlihatkan bahwa dalam dunia yang saling terhubung, nasionalisme yang tertutup justru bisa melemahkan posisi suatu negara di panggung internasional. Dengan demikian, pendekatan Trump bukanlah penolakan total terhadap kosmopolitanisme, melainkan bentuk nasionalisme yang selektif dan paradoksal.
Dampak Kebijakan Travel Ban terhadap Negara Mayoritas Muslim dan Keberlangsungan Kosmopolitanisme
Kebijakan larangan visa (travel ban) yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap beberapa negara mayoritas Muslim seperti Iran, Libya, Somalia, Suriah, Yaman, dan kemudian diperluas ke negara lain seperti Korea Utara dan Venezuela memicu reaksi keras dari negara-negara yang terkena dampak. Pemerintah negara-negara tersebut mengecam kebijakan ini sebagai diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia serta prinsip kosmopolitanisme, yang menekankan keterbukaan dan kerja sama global. Sebagai contoh, Iran menyebut larangan ini sebagai “penghinaan terhadap dunia Islam” dan membalas dengan membatasi visa untuk warga AS (Pamuk, 2025). Reaksi semacam ini memperlihatkan bagaimana kebijakan unilateral yang bersifat eksklusif dapat memicu respons protektif dari negara lain, sehingga memicu siklus ketertutupan.
Larangan visa Trump juga memperburuk hubungan diplomatik antara AS dan negara-negara yang terkena dampak, yang pada akhirnya menghambat kerja sama di bidang perdagangan, pendidikan, dan pertukaran budaya. Misalnya, banyak pelajar dan akademisi dari negara-negara yang terkena larangan visa mengalami kesulitan dalam mengakses pendidikan di AS, sementara universitas AS kehilangan kesempatan untuk berkolaborasi dengan talenta global (Pamuk, 2025). Negara-negara seperti Iran dan Suriah kemudian memperkuat kerja sama dengan kekuatan global lain seperti Rusia dan Tiongkok, yang semakin mengikis pengaruh AS dan memecah dunia ke dalam blok-blok geopolitik yang saling bersaing. Hal ini mengarah pada fragmentasi sistem internasional, di mana negara-negara semakin terkotak-kotak berdasarkan kepentingan politik dan ideologi.
Dampak jangka panjang dari kebijakan ini adalah melemahnya semangat kosmopolitanisme untuk mendorong keterbukaan, toleransi, dan identitas global yang inklusif. Dengan meningkatnya kebijakan imigrasi yang ketat dan diskriminatif, kepercayaan antara negara-negara semakin menipis, dan masyarakat global justru semakin terpolarisasi. Negara-negara yang merasa didiskriminasi cenderung mengadopsi kebijakan serupa, seperti pembatasan visa balasan atau nasionalisasi ekonomi, yang semakin mempersulit mobilitas manusia dan pertukaran gagasan global (Turner, 2020, p. 3). Akibatnya, dunia justru bergerak menuju era dimana batas-batas nasional menjadi lebih kaku, bertolak belakang dengan semangat kosmopolitanisme.
Selain itu, kebijakan pelarangan visa oleh Trump dan respons balasan dari negara-negara lain memperkuat narasi populisme dan nasionalisme di berbagai belahan dunia. Di Eropa, partai-partai sayap kanan mengutip kebijakan Trump sebagai pembenaran untuk menerapkan kebijakan imigrasi yang lebih ketat. Hal ini menciptakan efek domino di mana negara-negara semakin menutup diri, tidak hanya terhadap imigran tetapi juga terhadap nilai-nilai pluralisme dan multikulturalisme. Kosmopolitanisme, yang seharusnya menjadi fondasi untuk mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim dan diskriminatif rasial, justru terhambat oleh meningkatnya sentimen proteksionisme global akibat kebijakan populis yang berlebihan (Turner, 2020, p. 5).
Pada masyarakat, larangan visa dan respons balasan memperdalam prasangka antarbangsa dan antar agama. Masyarakat di negara-negara yang terkena larangan visa mengembangkan persepsi negatif terhadap AS, sementara warga AS yang terpengaruh oleh retorika Trump memandang negara-negara Muslim sebagai ancaman (Smith, 2025). Polarisasi ini mengurangi peluang untuk dialog antarbudaya dan saling keterbukaan, yang merupakan pilar kosmopolitanisme. Alih-alih mempromosikan persatuan dalam keragaman, dunia justru semakin terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang saling mendistorsi satu sama lain.
Pada akhirnya, siklus kebijakan imigrasi yang restriktif dan balas-membalas antara AS dan negara-negara lain mencerminkan kemunduran dalam tata kelola global. Daripada menyelesaikan masalah keamanan atau ketidakseimbangan migrasi secara kolektif, negara-negara memilih solusi unilateral yang justru memperparah ketegangan (Smith, 2025). Jika tren ini terus berlanjut, masa depan kosmopolitanisme yang mengedepankan solidaritas lintas batas negara akan semakin terdistorsi. Dunia mungkin akan menghadapi masa di mana isolasionisme dan nasionalisme sempit mendominasi, membuat kerjasama internasional yang inklusif semakin sulit diwujudkan.
Resistensi Masyarakat Global terhadap Kebijakan Pembatasan Visa oleh Donald Trump
Resistensi masyarakat global terhadap kebijakan pembatasan visa Donald Trump muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari protes massa, kampanye media sosial, gugatan hukum, hingga gerakan solidaritas lintas batas. Aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil di seluruh dunia mengecam kebijakan tersebut sebagai diskriminatif dan bertentangan dengan nilai-nilai kosmopolitanisme, seperti keterbukaan, toleransi, dan kesetaraan. Demonstrasi besar-besaran terjadi di bandara-bandara AS, seperti Bandara Internasional John F. Kennedy dan O’Hare, di mana ribuan orang berkumpul menentang pemblokiran warga dari negara-negara mayoritas Muslim. Gerakan ini tidak hanya didominasi oleh warga AS, tetapi juga mendapat dukungan dari komunitas internasional, menunjukkan bahwa isu ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan universal (Pamuk, 2025).
Kacamata hukum, kebijakan Trump menghadapi tantangan dari kelompok-kelompok kosmopolitan yang menggunakan sistem peradilan AS untuk membatalkan atau melemahkan larangan tersebut. ACLU (American Civil Liberties Union) dan organisasi hak-hak imigran lainnya menggugat pemerintah dengan argumen bahwa kebijakan itu melanggar Konstitusi AS, khususnya Klausul Perlindungan Setara (Equal Protection Clause). Beberapa pengadilan federal sempat memblokir sebagian dari travel ban, meskipun pada akhirnya Mahkamah Agung AS memutuskan mendukung Trump dalam kasus Trump v. Hawaii 2025 (Pamuk, 2025). Namun, perlawanan hukum ini menunjukkan bahwa masyarakat kosmopolitan berusaha mempertahankan prinsip non-diskriminasi melalui mekanisme demokrasi.
Selain perlawanan domestik, komunitas global juga merespons melalui tekanan diplomatik dan budaya. Negara-negara sekutu AS, seperti Jerman dan Kanada, secara terbuka mengkritik kebijakan Trump, sementara selebritas, ilmuwan, dan seniman dunia menyuarakan penolakan mereka. Banyak akademisi dan peneliti dari negara-negara yang terkena larangan visa tetap menjalin kolaborasi dengan institusi-institusi di Amerika Serikat yang terdampak oleh kebijakan tersebut, sehingga memicu boikot simbolis terhadap konferensi dan program pertukaran di AS (Gooding, 2025). Beberapa universitas Eropa dan Kanada justru merespons dengan menawarkan beasiswa khusus bagi mahasiswa dari negara-negara yang terkena dampak, sebagai bentuk solidaritas kosmopolitan.
Media sosial menjadi alat perlawanan yang ideal bagi masyarakat global untuk melawan narasi Trump dan mempromosikan nilai inklusivitas kosmopolitanisme. Kampanye seperti #NoMuslimBan dan #WelcomeTheRefugees menjadi viral, menyatukan suara dari berbagai belahan dunia yang menentang kebijakan diskriminatif tersebut. Platform seperti Twitter dan Instagram digunakan untuk membagikan kisah-kisah pribadi tentang keluarga yang terpisah, peneliti yang kehilangan kesempatan, dan pengungsi yang terdampar, sehingga menciptakan empati global. Gerakan ini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga proaktif. Misalnya, dengan mendorong orang-orang untuk menyumbang kepada organisasi bantuan pengungsi atau menawarkan tempat tinggal kepada mereka yang terimbas (Gooding, 2025).
Kemudian di tingkat akar rumput, jaringan masyarakat sipil transnasional, seperti Amnesty International, HIAS, dan Islamic Relief bekerja sama untuk memberikan bantuan hukum, dukungan finansial, dan advokasi bagi mereka yang terkena dampak travel ban. NGO ini beroperasi melampaui batas negara, merefleksikan semangat kosmopolitanisme dengan membantu individu tanpa memandang kebangsaan atau agama. Selain itu, kota-kota di AS yang dipimpin oleh walikota progresif, seperti New York dan Los Angeles menyatakan diri sebagai “sanctuary cities” yang menolak bekerja sama dengan kebijakan imigrasi federal yang diskriminatif dan memberikan perlindungan simbolis serta praktis bagi imigran (Smith, 2025).
Fenomena ini membuktikan bahwa masyarakat global dapat bersatu melawan politik divisive yang mengancam nilai-nilai kosmopolitan. Perlawanan ini tidak hanya mempertahankan prinsip inklusivitas, tetapi juga memperkuat jaringan aktivis, akademisi, dan profesional yang terus bekerja melawan nasionalisme eksklusif di masa depan. Namun, tantangan tetap ada, seperti kebijakan travel ban yang telah menginspirasi pemimpin populis lain di dunia untuk menerapkan pembatasan serupa, menunjukkan bahwa pertarungan untuk kosmopolitanisme masih jauh dari selesai.
Peluang Kosmopolitanisme Ditengah Kebijakan Pembatasan Visa Donald Trump
Kebijakan pembatasan visa Trump menjadi ujian nyata bagi daya tahan kosmopolitanisme di era politik populis yang semakin menguat. Meskipun kebijakan ini bersifat eksklusif dan diskriminatif, justru memantik respons global yang memperlihatkan ketahanan nilai-nilai inklusivitas. Masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis di berbagai belahan dunia tidak hanya mengecam kebijakan tersebut, tetapi juga mengorganisir gerakan solidaritas yang melampaui batas negara (Sable & Torres, 2018, p. 23). Hal ini menunjukkan bahwa kosmopolitanisme tidak mudah padam oleh kebijakan nasionalis, melainkan justru menemukan momentum untuk memperkuat jaringan globalnya.
Fragmentasi global yang dipicu oleh kebijakan Trump ternyata memunculkan alternatif-alternatif baru dalam praktik kosmopolitanisme. Negara-negara yang terkena dampak, seperti Iran dan Venezuela, mulai mencari mitra baru di luar AS, seperti Rusia dan Tiongkok, sementara universitas di Eropa dan Kanada membuka peluang lebih besar bagi mahasiswa dari negara-negara yang terkena larangan visa. Pergeseran ini menciptakan pusat-pusat kosmopolitan baru yang tidak lagi terpusat pada Barat, melainkan tersebar dalam sistem multipolar. Dengan demikian, kosmopolitanisme justru berkembang dalam bentuk yang lebih beragam dan tidak tergantung pada satu kekuatan hegemonik.
Kebijakan Trump juga menyadarkan dunia akan ketidakadilan struktural dalam sistem migrasi global. Pembatasan visa yang diskriminatif terhadap negara-negara miskin dan mayoritas Muslim memicu kritik dari organisasi internasional seperti PBB dan Amnesty International, yang menyerukan reformasi kebijakan migrasi berbasis hak asasi manusia. Kesadaran ini menjadi landasan bagi gerakan kosmopolitan yang lebih progresif, yang tidak hanya menuntut keterbukaan, tetapi juga keadilan dalam mobilitas global (Turner, 2020, p. 11). Kritik terhadap kebijakan Trump menjadi katalis untuk memperjuangkan sistem yang lebih inklusif dan setara.
Peluang terbesar dari krisis ini adalah potensinya untuk mentransformasi kosmopolitanisme menjadi gerakan yang lebih egaliter dan mandiri. Ketergantungan pada kebijakan satu negara (seperti AS) terbukti rapuh, sehingga mendorong aktor-aktor global untuk membangun aliansi yang lebih merata dan berbasis kolaborasi. Masyarakat dunia semakin menyadari bahwa masa depan kosmopolitanisme terletak pada kemampuan untuk bersatu melawan divisive politics, sambil memperkuat interdependensi yang adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, ujian yang diciptakan oleh kebijakan Trump justru dapat memperkuat fondasi kosmopolitanisme untuk menghadapi tantangan global di masa depan.
Arus proteksionisme dan politik populis yang kembali menguat, seperti terlihat dalam kebijakan pembatasan visa oleh pemerintahan Trump, gagasan kosmopolitanisme menghadapi tantangan berat. Namun demikian, sebagaimana ditunjukkan dalam respons global yang bersifat resistif dan solidaritas, kosmopolitanisme tidak serta-merta tergantikan. Justru dalam kondisi keterancaman, nilai-nilai kosmopolitan seperti keterbukaan, keadilan global, dan penghormatan terhadap martabat manusia menemukan momentumnya. Kebijakan eksklusif yang bersumber dari kepentingan negara dapat membatasi mobilitas fisik, tetapi tidak dapat membendung solidaritas lintas batas yang berakar pada kesadaran etis dan interdependensi global.
Oleh karena itu, alih-alih terdegradasi, kosmopolitanisme justru menunjukkan daya tahannya sebagai paradigma alternatif dalam merespons ketidakpastian dunia. Masa depan kosmopolitanisme tidak lagi bergantung pada negara-negara hegemonik semata, tetapi pada kekuatan komunitas transnasional yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan universal dan mampu melampaui sekat-sekat politik eksklusif. Dengan demikian, kosmopolitanisme tetap relevan bukan sebagai utopia, tetapi sebagai praksis yang terus diperjuangkan dalam konteks global yang ditandai oleh ketidakpastian, polarisasi, dan krisis lintas batas.
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal Akademik:
Beck, U. (2006). The cosmopolitan vision. Polity Press.
Cheah, P. (2012). Cosmopolitanism. Theory, Culture & Society, 23(2–3), 486–496. https://doi.org/10.1177/0263276406069233
Held, D. (2010). Cosmopolitanism: Ideals and realities. Polity Press.
Nussbaum, M. C. (2019). The cosmopolitan tradition: A noble but flawed ideal. Harvard University Press.
Sable, M. B., & Torres, A. J. (2018). Patriotism, cosmopolitanism and civic virtue: Trumpians and Trumpism. In S. M. de Wijze, M. H. Kramer, & C. Jones (Eds.), Trump and political philosophy: Patriotism, cosmopolitanism, and civic virtue (pp. 1–21). Palgrave Macmillan.
Turner, B. S. (2020). Cosmopolitanism and religion. In B. S. Turner (Ed.), Cosmopolitanism in hard times (pp. 328–338). Brill.
Sumber Media Online:
Gooding, D. (2025, May 27). Donald Trump freezes all new student visa interviews. Newsweek. https://www.newsweek.com/donald-trump-freezes-all-new-student-visa-interviews-report-2077588 (Diakses pada 10 Juni 2025)
Pamuk, H. (2025, June 15). Trump administration weighs adding 36 countries to travel ban, memo says. Reuters.
https://www.reuters.com/world/us/trump-administration-weighs-adding-36-countries-travel-ban-memo-says-2025-06-15/ (Diakses pada 17 Juni 2025)
Smith, N. (2025, May 29). America needs its foreign students. Noahpinion. https://www.noahpinion.blog/p/america-needs-its-foreign-students (Diakses pada 10 Juni 2025)
White House. (2025, June). Fact sheet: President Donald J. Trump restricts the entry of foreign nationals to protect the United States from foreign terrorists and other national security and public safety threats. U.S. Government.
https://www.whitehouse.gov/fact-sheets/2025/06/fact-sheet-president-donald-j-trump-restricts-the-entry-of-foreign-nationals-to-protect-the-united-states-from-foreign-terrorists-and-other-national-security-and-public-safety-threats/ (Diakses pada 18 Juni 2025)
Tulisan oleh:

Agustina Rahmawati
Magister Ilmu Hubungan Internasional
Persiapan Keberangkatan (PK) 242
Angkatan Awardee: 2024 Gasal
Reviewer:
Jumiati Ningsih
Magister Ilmu Administrasi Publik
Departemen Manajemen dan Kebijakan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


