The Details

Nov 17, 2025 .

Ketika Harus Memilih: LPDP atau Türkiye Burslari?

“Dream, believe, achieve.” Tiga kata yang merupakan moto saya sejak duduk di bangku SMP hingga saat ini, menjadikan saya terus menapaki jalan takdir yang terus bergulir. Moto ini bukan hanya sekadar rangkaian kata indah, tetapi panduan yang menuntun setiap langkah bahwa setiap mimpi perlu diperjuangkan dengan keyakinan dan kerja keras.

Halo, perkenalkan saya Sularso, atau akrab disapa Arso, salah satu penerima beasiswa LPDP yang kini tengah menempuh pendidikan magister di Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM). Perjalanan saya hingga berada di titik ini bukanlah perjalanan yang mudah. Ia ditempa oleh waktu, kesabaran, kerja keras, dan doa dari orang tua yang sederhana tapi memiliki cinta tanpa batas.

Akar yang Tumbuh di Tanah Desa

Saya lahir dan tumbuh di sebuah desa kecil bernama Bangun Mulyo, di Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung. Sebuah desa yang tenang, jauh dari gemerlap kota, di mana kehidupan masyarakatnya masih sangat bergantung pada hasil bumi dengan deretan sawah yang membentang luas. Ayah saya seorang petani, sosok sederhana dengan tangan kasar karena kerja keras yang tak tiada henti. Setiap pagi beliau sudah berangkat ke sawah dengan cangkul di pundak, ditemani harapan agar tanah yang digarap hari itu bisa memberi rezeki untuk keluarga.

Dari beliau, saya belajar satu hal yang menjadi prinsip hidup sampai hari ini yaitu “Kerja keras bukan pilihan, tapi kewajiban.” Ibu saya adalah seorang perempuan tangguh yang tidak pernah lelah memberi semangat. Beliau mungkin tidak banyak bicara, tapi kasih sayangnya terasa dalam setiap nasihat yang sederhana tentang kesabaran, keikhlasan, dan arti perjuangan.

Saya tumbuh di lingkungan yang penuh keterbatasan. Untuk bersekolah saja sering kali menjadi tantangan tersendiri. Kami tidak punya banyak uang, tapi saya punya tekad. Sejak kecil, saya sudah diajarkan untuk mandiri dan bekerja keras. Saya sering membantu ayah di sawah sepulang sekolah, mencabut rumput, menanam padi, atau sekadar menimba air dari parit kecil. Di tengah keletihan, saya selalu teringat pesan ayah, “Nak, kalau kamu ingin hidupmu lebih baik dari Bapak, kamu harus sekolah tinggi. Itu satu-satunya jalan.”

Mimpi yang Terlihat Mustahil

Saat berada di bangku SMA, saya mulai memupuk mimpi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi ternama. Namun, saya juga realistis dengan keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan. Untuk membeli buku tambahan pun saya harus menabung berbulan-bulan. Saya masih ingat bagaimana perasaan saya ketika teman-teman bisa membeli seragam baru, sementara saya masih mengenakan yang sama dari tahun sebelumnya. Namun, saya tidak mau menyerah. Saya percaya bahwa kesempatan tidak akan datang kepada mereka yang berhenti berusaha. Setiap malam, saya tekun belajar demi sebuah harapan besar serta doa yang menjadi pelengkap dari setiap usaha yang saya lakukan. Hingga akhirnya, kerja keras itu berbuah manis. Saya diterima di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di Indonesia. Tak berhenti sampai di situ, saya juga mendapat Beasiswa Pertamina yang membantu saya menyelesaikan pendidikan S1. Beasiswa itu bukan hanya tentang bantuan dana perkuliahan, tapi juga sebagai simbol harapan, tanda bahwa perjuangan saya tidak sia-sia, serta anak petani dari desa kecil pun bisa berdiri sejajar dengan siapapun. Selama kuliah, saya bertekad untuk tidak hanya menjadi mahasiswa yang belajar di ruang kelas. Saya aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan, kegiatan sosial, lomba karya ilmiah, dan pelatihan kepemimpinan. Dari situ, saya belajar banyak tentang tanggung jawab, kerja tim, dan pentingnya memiliki visi hidup. Saya juga menyadari bahwa ilmu sejati tidak hanya ditemukan di lembaran buku, tetapi juga di pengalaman, kegagalan, dan interaksi dengan banyak orang.

Dua Jalan, Dua Takdir

Setelah lulus S1, saya berada di titik persimpangan besar dalam hidup. Ada dorongan kuat dalam diri saya untuk melanjutkan studi, bukan semata demi gelar, tetapi karena saya ingin membawa perubahan nyata bagi masyarakat desa saya khususnya dalam bidang pertanian dan peternakan yang menjadi denyut nadi kehidupan kami. Saya mulai mempersiapkan diri untuk mencari informasi beasiswa, memperbaiki kemampuan bahasa Inggris, menulis esai, dan mengirimkan berbagai aplikasi ke dalam maupun luar negeri. Tidak ada yang mudah, setiap kali gagal, saya memperbaiki diri, belajar lagi, dan mencoba lagi. Hingga suatu hari, kabar bahagia itu datang. Saya dinyatakan lulus beasiswa Pemerintah Turki (Türkiye Burslari) yang merupakan salah satu beasiswa bergengsi dan kompetitif di dunia. Rasanya seperti mimpi. Saya masih ingat malam itu, tangis haru pecah di depan orang tua saya, kami berpelukan lama tanpa banyak bicara. Hanya air mata bahagia yang berbicara. Namun, kebahagiaan itu diiringi dilema besar. Saya dihadapkan pada keputusan sulit yaitu harus meninggalkan tanah air untuk belajar di luar negeri, atau tetap berjuang di dalam negeri dengan misi yang lebih dekat di hati saya.

Setelah berdoa dan berdiskusi panjang dengan orang tua dan mentor, saya akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil kesempatan tersebut. Banyak orang mungkin menganggap keputusan itu aneh, tetapi bagi saya, setiap langkah harus diambil dengan keyakinan dan tujuan yang jelas. Saya percaya, Tuhan tidak akan menutup satu pintu tanpa menyiapkan pintu lain yang lebih sesuai dengan jalan hidup kita. Tak lama setelah itu, keyakinan saya terbukti. Saya dinyatakan lulus sebagai penerima beasiswa LPDP, beasiswa prestisius dari Pemerintah Indonesia. Saya terharu. Kali ini bukan hanya karena berhasil, tetapi karena saya tahu, inilah jalan yang memang seharusnya saya tempuh.

Menjadi Bagian dari Perubahan

Dulu, saya hanya bisa melihat gerbang UGM dari layar televisi, membayangkan bagaimana rasanya belajar di kampus sebesar itu. Kini, saya melangkah di koridornya dengan penuh rasa syukur. Setiap hari di kampus adalah pengingat bahwa perjuangan tidak pernah berakhir. Saya belajar bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk mereka yang masih berjuang di desa saya, anak-anak muda yang memiliki mimpi besar tapi dibatasi oleh keadaan. Saya ingin menjadi jembatan bagi mereka. Saya ingin membuktikan bahwa anak petani pun bisa menjadi akademisi, peneliti, atau pemimpin. Saya ingin membantu menciptakan sistem pertanian dan peternakan yang lebih modern, efisien, dan berkelanjutan agar kerja keras para petani seperti ayah saya tidak lagi terbuang sia-sia.

Pesan untuk Mereka yang Masih Berjuang

Saya sadar, perjalanan ini masih panjang. Akan ada banyak tantangan, keraguan, dan kegagalan di depan. Tapi saya juga tahu, tidak ada mimpi yang terlalu tinggi bagi mereka yang berani melangkah. Saya ingin kisah ini menjadi pengingat bukan tentang siapa saya sekarang, tapi tentang dari mana saya memulai. Saya hanyalah anak seorang petani dari desa kecil yang menolak untuk menyerah. “Kalau saya bisa, yang lain pun juga pasti bisa.”

Mimpi anak desa bisa setinggi langit, asalkan ia mau berjalan meski perlahan, meski dengan kaki yang terluka, tertatih, meski harus jatuh berkali-kali. Karena mimpi bukan soal seberapa cepat kita mencapainya, tapi seberapa kuat kita bertahan untuk tetap memperjuangkannya.

Dan kini, setiap kali saya menginjakkan kaki di ruang kuliah, saya selalu teringat kata-kata ayah saya: “Bapak tidak bisa memberi banyak, tapi kalau kamu sekolah tinggi, itu sudah cukup membuat Bapak bahagia.” Itulah bahan bakar yang terus menyalakan api semangat langkah saya. Karena sejatinya, pendidikan bukan hanya untuk mengubah nasib diri sendiri, tetapi juga untuk menerangi jalan orang lain.

Tulisan oleh:

Sularso
Magister Peternakan
Persiapan Keberangkatan (PK) 237
Angkatan Awardee: 2024 Ganjil

Reviewer:
Awalia Nur Sakinah
Magister Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
Universitas Gadjah Mada

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *