Maluku dan Artificial Intelligence (AI) : Antara Generasi Operator atau Manusia Berpikir?
Senja di kaki Gunung Horil melahirkan renungan yang dalam tentang masa depan anak-anak Maluku. Apakah mereka akan menjadi sekadar pengguna teknologi, atau justru innovator yang mengarahkan teknologi agar berpihak kepada kemanusiaan? Dari gagasan Alan Turing tentang pengaruh era kecerdasan buatan hingga revolusi deep learning oleh Geoffrey Hinton menggambarkan pendidikan di Maluku sedang berada di persimpangan.

Sumber: https://medium.com/the-simulacrum/the-misrepresented-environmental-impact-of-ai-separating-fact-from-fiction-7eb60893e4e9
Data terbaru menunjukkan tantangan pendidikan di Maluku masih bersifat struktural dan sudah berlangsung semenjak lama. Ketidaksetaraan akses untuk anak-anak di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) berkontribusi pada penurunan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berada di bawah rata-rata nasional. Kemudian, mengutip dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku angka putus sekolah mencapai 1,97% pada tahun 2022. Hal ini menambah daftar panjang masalah Pendidikan di Maluku.
Data terbaru yang diperoleh dari Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) tahun 2025 tercatat sebanyak 1.328 anak tidak sekolah (ATS), dan Maluku Tengah tercatat sebagai kabupaten dengan angka ATS tertinggi di provinsi ini. Masalah utama yang menyebabkan putus sekolah di Maluku antara lain faktor ekonomi, akses geografis yang sulit, sarana dan prasarana sekolah yang belum merata, serta minimnya dukungan masyarakat terhadap pendidikan. Untuk anak usia 16-18 tahun, diperkirakan sekitar 21,62% tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi (BPS). Angka-angka ini bisa berbeda untuk tiap kabupaten/kota dalam Provinsi Maluku. Selain itu, sumber daya guru, serta kualitas pengelolaan pendidikan masih menjadi persoalan menahun. Ketidakmerataan ini seolah menegaskan potensi masa depan Maluku yang terancam oleh “mentalitas mesin operator” anak didik yang terjebak dalam rutinitas, hafalan, dan kepatuhan prosedural, tanpa refleksi kritis maupun daya cipta.
Sebuah pertanyaan mendalam yang lahir dari perenungan pribadi, apakah pendidikan masa depan masih relevan jika hanya melahirkan manusia? Homo Technologicus berarti patuh aturan, minim empati, dan sekadar roda gigi mesin sosial? Sejarah mengingatkan kita lewat kisah Eichmann, seorang birokrat Nazi, bahwa ketaatan tanpa ke berpikiran berpotensi melahirkan “banality of evil”, di mana kejahatan terjadi bukan karena kebencian, melainkan karena kegagalan refleksi moral.
Pendidikan yang menekan ruang bertanya, dialog, dan empati hanya akan melahirkan generasi yang miskin keberanian melawan arus ketidakadilan baik di lingkup lokal Maluku maupun dunia global. Tantangan Maluku dipengaruhi dengan dominasi sektor primer oleh tenaga berpendidikan rendah, serta kemiskinan yang bersumber dari minimnya keterampilan dan literasi digital. Hal ini adalah fenomena global teknologi, kecerdasan buatan, bahkan program pendidikan digital, dapat menjadi berkah sekaligus ancaman. Jika perkembangan AI hanya difokuskan pada efisiensi dan aplikasi teknis, bukan mendidik kesadaran dan keberpikiran, Maluku akan semakin tertinggal dan gagal membangun generasi yang berdaya inovasi dan empati.
Materi kuliah terakhir yang disajikan oleh Bapak. M. Nur Rizal, S.T., M.Eng., Ph.D. seorang pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di Jogja. Memberikan Perspektif menarik bagi saya. Dengan inovasi mendalam pendidikan masa depan harus bertransformasi dari sekadar transfer pengetahuan menjadi ruang refleksi, imajinasi moral, dan penguatan karakter yang memiliki ketajaman berpikir. Pendidikan inklusif di Maluku, dengan program seperti Pendataan Profil Belajar Siswa (PBS) dan inisiatif kolaboratif inovasi, melambangkan harapan baru harus di perjuangkan. Di sinilah pentingnya menumbuhkan keberpikiran batin dan dialog sosial mempraktikkan imajinasi moral agar setiap anak Maluku mampu membayangkan dan merasakan dunia dari berbagai sudut pandang, bukan sekadar patuh pada instruksi sistem yang model dan kreatif menembus ketidakpastian. Guru dan ekosistem sekolah menjadi garda terdepan perubahan. Keteladanan Martha Christina Tiahahu dan pendekatan revolusioner pendidikan masa lalu menjadi inspirasi. Guru bukan hanya pekerja rutin, melainkan agen transformasi masyarakat, berani berbeda, menciptakan ruang kritis, dan melawan sistem yang stagnan.
Pendidikan yang membebaskan akan menanamkan keberanian siswa Maluku bertanya “mengapa dan bagaimana”, bukan hanya “berapa nilai dan ranking”.Kita perlu membayangkan masa depan Maluku seperti pohon pala dan cengkeh yang harumnya tercium sampai di Belanda, Jepang bahkan portugis, bukan seperti benalu yang tumbuh tanpa warna. Keberagaman inilah modal kolektif untuk membangun solidaritas, inovasi, dan kesadaran pluralisme. Ruang pendidikan adalah tarian cakalele yang datang dari Nunusaku sampai Lease-Ambon, dari Wetar hingga Kisar di mana dialog, keberpikiran, dan imajinasi moral tumbuh melahirkan revolusi batin dan aksi kolektif demi masa depan yang lebih adil dan manusiawi.Narasi ini menyimpulkan: pendidikan di Maluku harus berpijak pada dua prinsip besar, yakni inovasi berbasis data dan teknologi, serta pembebasan batin melalui ruang refleksi kritis dan empati. Hanya melalui kombinasi dua kekuatan ini, generasi Maluku mampu menjadi pelaku sejarah, bukan sekadar penonton yang kehilangan arah di tengah arus teknologi.Opini ini menegaskan pentingnya pendidikan yang visioner, manusiawi, dan reflektif di Maluku maupun Indonesia secara umum.
Tulisan oleh:
.jpg)
Hervin Maitimu
Magister Teknologi Informasi
Persiapan Keberangkatan (PK) 257
Angkatan Awardee: 2025 Gasal
Reviewer:
Jumiati Ningsih
Magister Ilmu Administrasi Publik
Departemen Manajemen dan Kebijakan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik



