Meniti Langkah, Menggapai Asa
Pembuka
“Man Jadda Wajada”, barang siapa bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Aku pertama kali mendengar pepatah ini saat masih duduk di bangku Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA) di GUPPI Kayujati, Panyabungan, Mandailing Natal. Waktu itu, aku hanyalah anak kecil yang mendengarnya dari ustadz di depan kelas, mencatatnya di buku tulis lusuh, lalu menempelkannya di ingatan tanpa benar-benar mengerti maknanya. Bagiku, itu hanyalah kalimat indah dalam Bahasa Arab yang sering diucapkan guru sebagai penyemangat belajar.

Bertahun-tahun kemudian, tepatnya di tahun 2005, kata-kata itu kembali datang, bukan sebagai pelajaran agama, tapi sebagai tantangan hidup. Aku baru saja lulus dari SMA Negeri 1 Panyabungan, sekolah favorit yang menjadi kebanggaan kotaku. Aku termasuk siswa di kelas khusus, angkatan pertama dari program unggulan yang penuh harapan. Dalam benakku, masa depan terlihat jelas: masuk perguruan tinggi ternama, meraih gelar, dan mengubah nasib keluarga.
Namun, takdir punya jalan yang tak selalu searah dengan rencana manusia. Semua seleksi yang kuikuti, Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) ke Fakultas Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara (USU), Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) ke Fakultas Teknik Sipil USU, hingga Ujian Saringan Masuk (USM) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), tak satu pun membuahkan hasil. Pilihan terakhir hanyalah universitas swasta, namun biaya yang harus dibayar jauh melampaui kemampuan keluargaku.
Aku masih ingat sore itu. Paman memanggilku ke rumahnya. Dengan suara hati-hati, ia menyampaikan pesan dari orang tuaku: “Nak, orang tua kamu tidak sanggup membiayai kuliah. Kalau mau melanjutkan, harus cari jalan sendiri.” Kata-kata itu membuat dadaku sesak. Malam itu, aku duduk memandangi langit-langit kamar, membiarkan air mata jatuh tanpa suara. Di tengah hening, pepatah dari masa kecilku itu terngiang kembali: Man Jadda Wajada. Kali ini, ia bukan lagi sekadar nasihat, tapi ia adalah ujian.
Latar Belakang
Namaku Ahmad Saipul Asnawi. Aku lahir dan tumbuh di Panyabungan, Mandailing Natal, sebuah daerah di Sumatera Utara yang dikelilingi pegunungan hijau, sawah yang luas, dan sungai yang tenang mengalir. Hidup di sini mengajarkan banyak hal: arti kerja keras, kebersamaan, dan menerima hidup dengan sederhana.
Ayahku seorang pedagang yang setiap pekan pergi ke pasar-pasar (pekan) di berbagai desa, membawa dagangan dan berharap kembali dengan sedikit keuntungan. Di sela-sela waktu berdagang, beliau juga bertani, menanam, merawat, dan memanen padi untuk menambah penghasilan keluarga. Ibu ikut membantu ayah, baik di sawah maupun di urusan rumah tangga. Penghasilan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, tapi tidak banyak tersisa untuk hal-hal di luar itu.
Masa kecilku berjalan dalam ritme yang teratur. Pagi hingga siang aku bersekolah di sekolah umum. Sore hari, aku pergi ke MDA GUPPI Kayujati. Di sanalah aku pertama kali mendengar pepatah Man Jadda Wajada, barang siapa bersungguh-sungguh, ia akan mendapatkan. Waktu itu, pepatah itu hanyalah tulisan di buku tulisku, sekadar catatan pelajaran agama yang diucapkan ustadz. Malam hari, selepas makan, aku masih punya satu kegiatan lagi: belajar mengaji di rumah seorang guru mengaji di kampung. Di bawah cahaya lampu dlam rumah sederhana, aku mengeja huruf demi huruf Al-Qur’an. Rutinitas ini membuat hari-hariku padat, tapi tanpa kusadari, semua itu membentuk disiplin, kesungguhan, dan rasa hormat pada ilmu.
Sejak kecil aku punya mimpi yang sederhana namun besar maknanya: melanjutkan pendidikan setinggi mungkin. Di lingkungan tempatku tumbuh, tidak semua anak bisa menggapai bangku kuliah. Sebagian memilih bekerja setelah lulus SMA, sebagian lagi menikah muda. Tapi aku ingin melampaui batas itu, mendapat gelar sarjana, membahagiakan orang tua, dan membuktikan bahwa anak dari keluarga biasa pun bisa memiliki masa depan yang gemilang.

Ketika aku diterima di SMA Negeri 1 Panyabungan, sekolah favorit yang menjadi kebanggaan kota, mimpi itu semakin kuat. Apalagi ketika aku masuk kelas khusus, sebuah program baru yang menampung siswa-siswa berprestasi. Rasanya semua jalur menuju perguruan tinggi sudah terbentang di depan mata. Aku tidak tahu, di balik semangat itu, hidup sedang menyiapkan ujian besar. Sebuah ujian yang akan menguji seberapa kuat aku bersedia memperjuangkan mimpi yang telah kutanam sejak kecil.
Proses Berjuang Mencapai Mimpi
Kabar itu datang seperti petir di siang bolong: orang tua tidak sanggup membiayai kuliahku. Sejenak aku terdiam, menatap kosong ke langit-langit rumah, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja terucap. Semua rencana yang sudah tersusun rapi di kepala, seperti kabut yang mendadak menghilang tertiup angin. Namun, aku tahu satu hal, berhenti bukanlah pilihan.
Aku memutuskan untuk menunda kuliah setahun. Bukan karena menyerah, tetapi untuk memberi diriku waktu mengumpulkan bekal, baik secara finansial maupun mental. Targetku sederhana: menabung cukup untuk membayar biaya masuk dan semester pertama di Universitas Graha Nusantara (UGN) Padangsidimpuan. Dalam pikiranku, jika tidak bisa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), UGN pun jadilah, yang penting belajar tetap berjalan. Langkah pertama adalah mencari pekerjaan. Aku diterima sebagai karyawan di Penerbit Buku Madju, sebuah penerbit buku sekolah dasar. Posisi yang kupegang adalah Administrasi Gudang. Setiap hari aku mencatat keluar- masuk buku, mengatur stok, dan memastikan distribusi berjalan lancar. Pekerjaan itu jauh dari glamor, tapi bagiku, setiap rupiah yang kuterima adalah pijakan menuju mimpi.

Sebelum itu, aku sempat menjalani masa percobaan sebagai penyiar di Radio Madina Buana Prima FM. Mikrofon, headset, dan ruang siaran seakan membawaku ke dunia yang sama sekali berbeda. Namun, masa training itu harus terhenti karena tawaran pekerjaan tetap di penerbit terasa lebih pasti untuk mencapai tujuan finansialku.
Pada akhir tahun 2005, aku mencoba mengikuti tes CPNS dengan berbekal ijazah SMA. Alhamdulillah, aku lulus dengan formasi jabatan Arsiparis dan ditugaskan di Kantor Camat Kecamatan Natal, sebuah wilayah yang cukup jauh dari tempat tinggalku, sekitar 4 hingga 5 jam perjalanan darat. Perjalanan itu sendiri sering kali menjadi ujian kesabaran, melewati jalan berliku, terkadang rusak, dan menuntut fisik yang prima.
Dua tahun kemudian, pada 2007, aku dipindah tugaskan ke Kantor Balai Latihan Kerja (BLK) Kabupaten Mandailing Natal. Meski pekerjaan berjalan seperti biasa, di dalam hatiku keinginan untuk melanjutkan studi S1 terus membara. Aku berusaha mencari informasi untuk masuk ke Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) dan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi- Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN), namun pada masa itu akses informasi tidak semudah sekarang, internet belum sepopuler sekarang, dan informasi lebih banyak mengandalkan koran, selebaran, atau kabar dari mulut ke mulut.

Pada tahun 2009, setelah melalui berbagai pertimbangan, aku memutuskan untuk mendaftar ke Universitas Graha Nusantara (UGN) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Ilmu Pemerintahan. Aku merasa inilah jurusan yang sesuai dengan minat dan pekerjaanku saat itu. Namun, tak lama berselang, pada tahun 2010, aku mendapat kabar bahwa Kementerian Pertanian membuka program beasiswa untuk kuliah di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP).
Mendengar kabar itu, aku langsung bimbang. Pertanian bukanlah bidang yang sejak awal menjadi minatku, dan aku khawatir jika pilihan ini justru membuatku merasa tidak nyaman. Aku membutuhkan waktu tiga hari penuh untuk merenung, mempertimbangkan segala risiko, dan memohon petunjuk lewat istikharah. Di sisi lain, aku sadar bahwa peluang seperti ini tidak datang dua kali. Aku pun mengingat kembali tekadku untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Akhirnya, dengan keyakinan dan keberanian yang terkumpul, aku memutuskan untuk mendaftar. Proses administrasi kuliah sambil bekerja tidaklah mudah, aku harus mempersiapkan berkas, izin dari instansi, dan tentu saja menyiapkan mental untuk beradaptasi di lingkungan baru.

Melangkah ke STPP Medan berarti memasuki dunia yang sama sekali baru bagiku. Banyak istilah teknis pertanian yang terdengar asing, metode belajar yang berbeda, dan tuntutan praktikum yang menguras tenaga. Namun, aku memilih untuk tidak menyerah. Aku mulai belajar dari nol, banyak bertanya pada dosen dan teman-teman, bahkan memanfaatkan malam hari untuk berdiskusi dengan teman-teman yang sudah lama menjadi Penyuluh Pertanian.
Perjalanan ini mengajarkanku bahwa kadang jalan menuju mimpi tidak selalu lurus. Ada tikungan yang memaksaku untuk keluar dari zona nyaman, ada tanjakan yang menguji kesabaran dan tekad. Tapi dari situlah aku belajar bahwa kegigihan, keberanian mengambil risiko, dan kesiapan untuk beradaptasi adalah bekal penting dalam meraih tujuan.
Titik Balik: Saat Langit Terbuka
Awal tahun 2022, aku berada di persimpangan jalan yang membingungkan. Di satu sisi, impian untuk melanjutkan studi semakin mendesak, sebuah panggilan yang entah mengapa kian nyaring terdengar di hati. Di sisi lain, realitas hidup dengan tiga anak kecil dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga membuat setiap langkah harus diperhitungkan dengan sangat matang.
Ketika seorang teman memberi tahu bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika sedang membuka beasiswa S2, aku merasa ini adalah kesempatan emas. Aku bahkan sudah membayangkan diri menempuh pendidikan di Universitas Andalas, jurusan Ilmu Komunikasi. Berkas administrasi kukumpulkan dengan penuh semangat, malam-malam kulalui untuk melengkapi persyaratan.
Namun, di tengah proses itu, aku mulai dihantui satu pertanyaan sederhana tapi berat: “Kalau diterima, sanggupkah aku membiayai hidup di sana?” Pertanyaan itu bukan sekadar soal uang, tapi tentang keberlangsungan keluargaku selama aku menempuh studi. Aku teringat wajah-wajah kecil anak- anakku, terbayang istriku yang akan menanggung beban lebih besar jika aku jauh.
Malam itu, setelah salat Isya, aku duduk lama di ruang tamu. Rumah sudah sunyi. Aku memandang selembar kertas berisi daftar persyaratan yang sudah hampir lengkap. Tapi dalam hati, aku merasa ini bukan jalan yang tepat. Dengan napas panjang, aku memutuskan untuk mundur. Rasanya seperti menutup pintu yang sudah setengah terbuka. Sakit, tapi lega.
Keputusan itu justru membawaku pada titik balik yang sebenarnya. Aku mulai mencari beasiswa lain, yang bukan hanya menanggung biaya pendidikan, tapi juga biaya hidup selama studi. Dari pencarian itulah, aku menemukan beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Saat membaca detailnya, aku seperti menemukan puzzle terakhir yang hilang. Semua yang kuimpikan seakan pas, jurusan yang sesuai di Universitas Gadjah Mada (UGM), dukungan penuh biaya, dan kesempatan mengabdi kembali untuk negeri.
Proses seleksinya terkenal ketat. Tapi entah mengapa, ada keyakinan yang tumbuh dalam hati. Aku berdoa dengan kesungguhan yang jarang sekali kurasakan sebelumnya. Bukan sekadar doa agar diterima, tapi doa agar diberi kekuatan menjalani seluruh prosesnya.
Hari pengumuman itu, jantungku berdegup tak beraturan. Aku membuka laman resmi LPDP dengan tangan sedikit bergetar. Saat kata “LULUS” terpampang di layar, aku terdiam. Air mata mengalir tanpa komando. Aku menatap langit-langit kamar, mencoba memahami bahwa ini bukan hanya hasil kerja keras, tapi juga campur tangan Tuhan yang begitu nyata.

Aku memeluk istriku erat. Anak-anak menatap heran, lalu ikut tersenyum ketika tahu ayahnya akan kuliah lagi. Dalam hati, aku tahu, ini bukan sekadar keberhasilan akademik. Ini adalah jawaban dari setiap keraguan, setiap doa yang kupanjatkan, dan setiap langkah kecil yang kuambil di tengah badai pertimbangan hidup.
Refleksi & Pesan Hidup
Setiap perjalanan hidup punya bahasa sendiri. Ada yang berbicara lewat kesuksesan cepat, ada yang mengajarkan lewat jalan panjang penuh lika-liku. Perjalananku menuju pendidikan magister (S2) jelas memilih bahasa yang kedua, lama, berliku, kadang melelahkan, tapi penuh pelajaran yang menancap kuat di hati.
Aku menyadari, Tuhan selalu punya cara yang sempurna untuk mengatur waktu. Aku bisa saja memaksakan diri melanjutkan S2 di tahun-tahun awal setelah lulus S1. Tapi, mungkin aku belum cukup matang. Belum cukup sabar. Belum cukup mengerti arti sebenarnya dari “belajar” bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain yang kita layani. Peran sebagai suami dan ayah justru menjadi “universitas kehidupan” yang mengajarkanku banyak hal sebelum aku benar-benar kembali duduk di bangku kuliah.
Perjuangan LPDP ini mengajarkanku tiga hal besar:
- Doa dan Ikhtiar Harus Berjalan Beriringan
Aku belajar bahwa bekerja keras saja tidak cukup. Ada saatnya kita harus mengangkat tangan tinggi-tinggi, memohon restu dari yang Maha Kuasa, dan menerima bahwa hasilnya ada di luar kendali kita. LPDP ini bukan hanya hasil kerja otak dan kertas aplikasi, tapi juga doa orang tua, istri, dan anak-anakku yang menyebut namaku dalam sujud mereka. - Kesabaran adalah Mata Uang yang Bernilai Tinggi
Butuh waktu hampir 10 tahun dari lulus S1 hingga aku benar-benar mendapat kesempatan menempuh pendidikan S2 ini. Jika aku menyerah di tengah jalan hanya karena gagal atau ragu, mungkin aku tidak akan pernah merasakan duduk di kelas Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembagnunan di UGM. Kesabaran bukan sekadar menunggu, tapi tetap bergerak meski jalannya pelan. - Keluarga adalah Titik Kembali dan Sumber Kekuatan
Banyak orang mengira mengejar mimpi itu soal ambisi pribadi. Tapi bagiku, keluarga justru menjadi alasan terbesar. Wajah istri dan anak-anak selalu ada di pikiranku setiap kali lelah mengisi formulir atau menyiapkan berkas. Mereka bukan penghalang, mereka adalah pendorong.

Kini, ketika aku sudah berada di jalan yang dulu hanya ada di doaku, aku merasa ada kewajiban moral: untuk berbagi, membimbing, dan menginspirasi orang lain yang sedang menapaki jalannya. Aku ingin berkata pada setiap orang yang membaca kisah ini: Jangan takut memulai, jangan malu jatuh, dan jangan lelah bangkit. Tuhan sudah menulis cerita terbaik untuk kita, tugas kita hanya berusaha dan percaya.
Tentang Penulis

Nama lengkap penulis adalah Ahmad Saipul Asnawi, yang akrab disapa Ahmad oleh keluarga dan sahabat dan disapa Saipul di tempat tugas. Ia lahir dan dibesarkan di Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara.
Saat ini, Ahmad berdomisili di Yogyakarta untuk melanjutkan studi, namun hatinya tetap terpaut pada tanah kelahiran di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Perpaduan kehidupan di kampung halaman dan lingkungan akademik di kota pelajar membentuk cara pandangnya yang luas namun tetap membumi. Ahmad merupakan mahasiswa pascasarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan. Sebelumnya, ia menempuh pendidikan sarjana terapan di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Medan dengan Jurusan Penyuluhan Pertanian.
Sejak kecil, Ahmad gemar membaca segala macam buku. Travelling juga menjadi salah satu hobinya, karena baginya setiap tempat yang baru menyimpan cerita dan hikmah.
Ahmad pernah menjadi Lulusan Terbaik I STPP Medan Jurusan Penyuluhan Pertanian. Sekarang merupakan mahasiswa penerima beasiswa LPDP untuk studi lanjut di UGM dan selama bertugas aktif sebagai narasumber pelatihan pertanian.



Filosofi hidup yang dipegangnya adalah:
“Barang siapa menginginkan dunia, hendaklah (dicapai) dengan ilmu, barang siapa menginginkan akhirat, hendaklah dengan ilmu.” Filosofi ini menjadi panduan hidup penulis dalam menapaki setiap langkah perjalanan, bahwa ilmu adalah kunci untuk meraih kebahagiaan dunia sekaligus keselamatan akhirat.
Tulisan oleh:

Ahmad Saipul Asnawi
Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan
Persiapan Keberangkatan (PK) 232
Angkatan Awardee: 2024 Gasal



