The Details

Nov 17, 2025 .

Bagaimana Rasanya Menjadi Perantau yang Sakit: Pengalaman Bahar, Mahasiswa UGM Operasi Usus Buntu

Nama saya Bahar, seorang mahasiswa S2 di UGM yang baru memasuki semester awal. Saya ingin berbagi pengalaman tentang bagaimana rasanya didiagnosa usus buntu dan harus menjalani operasi sendirian, tanpa kehadiran keluarga di samping saya. Semoga cerita ini bisa menjadi pengingat bagi teman-teman anak rantau lainnya, agar lebih siap menghadapi situasi tak terduga seperti yang saya alami.

Hari Selasa, 4 November 2025, tampaknya berjalan seperti biasa. Siang itu, saya menikmati soto bersama dua teman, Jerry dan Rio. Setelah makan, kami berjalan kaki menyusuri Kali Code, singgah untuk salat di masjid yang terletak di pinggir sungai, lalu melanjutkan waktu santai di sebuah coffee shop hingga sore. Saya hanya memesan air mineral. Malam harinya, kami berencana untuk nongkrong lagi, tetapi terlebih dahulu kami mampir untuk membeli sate ayam. Saya memilih yang tidak pedas. Setelah makan, kami pergi ke Indomaret dekat Fisipol UGM untuk membeli dimsum murah seharga seribu per biji dan semangka. Di sana, kami membahas rencana pendakian Gunung Merbabu yang dijadwalkan minggu depan. Saya bahkan sudah mendaftar akun untuk summit—rencana yang akhirnya harus dibatalkan karena saya harus opname.

Malam itu, sekitar pukul sembilan, saya kembali ke kos. Tiba-tiba, saya terlintas ingin makan buah yang kaya vitamin C. Saya pun mencari informasi di Google dan menemukan “jambu biji” sebagai rekomendasi teratas. Tanpa berpikir panjang, saya langsung meluncur ke toko buah langganan di Jalan Monjali. Di sana, saya membeli dua kilo jambu biji dan sedikit anggur ungu yang terlihat segar. Setibanya di rumah sekitar pukul sepuluh malam, saya langsung menyantap jambu tersebut matang dan sangat manis, bahkan saya makan bersama bijinya. Rasanya saat itu baik-baik saja.

Namun, sekitar tengah malam, perut saya mulai terasa kembung dan mengeluarkan bunyi-bunyi aneh. Saya mengira ini hanya masalah angin, jadi saya mencoba berbaring. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa tidak nyaman semakin meningkat. Saya mencoba untuk buang air besar, namun tidak berhasil, dan meski saya mengganti posisi tidur, rasa sakit tetap ada. Sekitar pukul tiga pagi, saya menggigil hebat dan akhirnya terpaksa tidur dengan selimut tebal. Perut saya terus nyeri dan berbunyi hingga pagi menjelang.

Ketika saya bangun, rasa sakitnya berpindah ke bagian kanan bawah perut. Dalam hati, saya mulai khawatir, “Jangan-jangan ini usus buntu.” Meskipun begitu, saya tetap memutuskan untuk pergi ke kampus karena ada kelas jam sembilan. Saya berjalan sambil memegang perut, dan mengendarai motor dengan sangat pelan. Di kelas, saya duduk di samping Faisal Akbar, tetapi selama kuliah, pikiran saya melayang kemana-mana. Saya mencari informasi tentang gejala usus buntu dan semua yang saya baca sepertinya cocok. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi.

Saya sempat berencana untuk pergi ke GMC UGM, tetapi saya ingat bahwa antreannya bisa sangat panjang. Di sisi lain, BPJS saya sudah tidak aktif karena saya resign dari pekerjaan pada bulan Juli. Ketika saya mencoba login ke aplikasi Mobile JKN, ternyata statusnya “tidak aktif.” Akhirnya, saya memutuskan untuk pergi ke RSUP Sardjito saja.

Setelah kelas selesai, saya pulang ke kos, merapikan kamar, dan mengambil dokumen penting. Dalam hati, saya merasa, “Kalau sudah ke rumah sakit, sepertinya saya tidak akan pulang hari ini.” Dan benar saja. Saya sempat meminta bantuan ibu kos, tetapi suaminya sedang sibuk, jadi saya memutuskan untuk membawa motor sendiri ke IGD Sardjito meskipun masih merasakan sakit. Tempat parkirnya jauh dari IGD, jadi saya harus berjalan kaki selama lima menit sambil meringis menahan nyeri.

Sesampainya di IGD, saya langsung diperiksa. Suhu tubuh saya 36 derajat, dan nyeri hebat terasa di perut kanan bawah. Dokter, dr. Singgih, mengatakan bahwa kemungkinan besar saya mengalami usus buntu. Saya menjelaskan tentang BPJS yang belum aktif, dan beliau memberitahukan bahwa biaya operasi cukup besar. Dalam keadaan masih terbaring, saya segera menghubungi kakak saya di Bontang untuk membantu mengurus BPJS. Tidak sampai dua jam, kabar baik datang: status saya sudah aktif! Pegawai BPJS membantu mempercepat proses karena situasi darurat. Alhamdulillah, saya bisa bernapas lega.

Setelah itu, saya langsung ditanya, “Apakah Anda bersedia untuk dioperasi?” Dengan rasa sakit yang sudah tidak tertahankan, saya menjawab, “Iya, Dok.” Faisal dan dua teman saya yang lain, Bobi dan Mbak Acil, membantu mengurus persetujuan. Saya dipindahkan ke Gedung Bedah Dahlia, dan infus sudah terpasang. Saya naik ambulans ke lantai instalasi bedah sentral, diantar sampai depan ruang operasi. Mereka pamit di depan pintu, dan saya sendirian di ruang transit, menunggu. Dokter-dokternya banyak, mereka tampak santai mengobrol, sementara saya hanya bisa melihat jam di dinding pukul lima sore. Obat bius mulai masuk, dan beberapa menit kemudian, semuanya menjadi gelap.

Sebagai seorang perantau, salah satu hal yang paling menakutkan bukan hanya rasa rindu pada rumah, tetapi juga saat sakit dan merasa jauh dari keluarga. Di rumah sakit, semuanya terasa asing dan tidak familiar. Namun, saya bersyukur karena ada teman dan orang-orang baik di sekitar saya. Para perawat datang sesekali, membantu mengatur meja makan, memeriksa tekanan darah, dan mengganti infus. Namun, di luar itu, kita harus belajar mandiri. Bahkan untuk sekadar minum, saya harus meminta bantuan dari pendamping pasien di ranjang sebelah, seorang ibu paruh baya yang sangat baik hati, yang terus membantu saya hingga hari terakhir.

Keluarga di rumah sering menelepon. Terkadang, saya merasa lelah menjawab pertanyaan yang sama berulang kali, tetapi saya menyadari bahwa itu adalah bentuk perhatian mereka. Kesendirian di ruang rawat benar-benar memicu refleksi dalam diri saya. Sementara dunia di luar terus bergerak, saya hanya bisa berbaring dan berharap untuk segera sembuh.

Sekitar pukul sembilan malam, saya mulai sadar. Pandangan saya masih kabur, tetapi saya bisa melihat tiga teman di sekitar ranjang. Kepala saya terasa berat, perut nyeri, dan tubuh lemas. Sekitar jam sebelas, saya terbangun lagi karena ada yang mengusap leher saya ternyata itu Dewi Sinta. Saya tidak menyangka dia datang. Rasa nyeri yang saya alami luar biasa, sampai untuk bernapas pun terasa menyakitkan. Saya berusaha berpikir positif: para dokter pasti sudah terbiasa dengan operasi ini.

Malam itu, saya juga menyadari bahwa ada kateter yang dipasang. Rasanya tidak nyaman, tetapi alat itu membantu mengeluarkan air seni secara otomatis. Sinta tidak sendirian, dua teman lainnya juga menunggu di luar. Sekitar jam dua pagi, saya terbangun dan mendapati ruangan sudah sepi semua orang sudah pulang. Suasana sangat sunyi.

Hari pertama pascaoperasi, saya baru tahu bahwa metode yang digunakan adalah laparoskopi, sehingga lukanya kecil. Pagi-pagi, perawat bertanya, “Sudah buang angin?” Belum, jadi saya belum diperbolehkan makan. Hari itu saya hanya bermain HP, menonton YouTube, menelepon keluarga, dan menunggu waktu berlalu. Dokter Singgih datang siang itu dan meminta saya mencoba berdiri. Kateter juga dilepas pada hari yang sama. Rasanya… sulit dijelaskan, tetapi ada rasa lega saat akhirnya lepas. Dokter bilang saya bisa mulai belajar berjalan.

Hari kedua, dokter datang untuk visit dan memberi tahu bahwa saya sudah boleh pulang. Karena tidak diperbolehkan mengangkat barang, saya meminta bantuan Joe, murid saya yang sudah kuliah, untuk membawakan barang-barang saya. Saya naik GrabCar sekitar jam tiga sore, sementara Joe membawa barang-barang dengan motor. Rasanya campur aduk, lega, tetapi juga masih merasakan sakit. Dalam perjalanan keluar, saya sempat bersalaman dengan pasien di sebelah yang juga akan pindah ruangan. Hanya salaman sebentar, tetapi rasanya hangat sekali.

Menjadi anak rantau dan merasakan sakit sendirian itu memang sangat berat. Segala hal yang biasanya sederhana menjadi terasa sulit, hanya untuk pergi ke toilet, makan, atau bahkan sekadar duduk pun membutuhkan usaha yang ekstra. Namun, di balik semua kesulitan itu, saya merasa bersyukur karena banyak orang baik yang hadir tanpa diminta. Mungkin mereka tidak menyadari, tetapi perhatian kecil mereka sangat berarti bagi saya.

Saya juga mendapatkan pelajaran berharga: pentingnya mengurus BPJS atau jaminan kesehatan sebelum sakit datang. Jangan tunggu sampai keadaan darurat baru panik. Karena dalam situasi genting, waktu dan uang bisa menjadi penyelamat yang sangat berharga.

Ucapan Terima Kasih

Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
Kakakku di Bontang yang dengan cepat mengurus BPJS hingga aktif dalam waktu dua jam.  
Faisal Akbar yang setia menemani dari awal di IGD.  
Mbak Acil dan Bobi Jeri yang menjaga saya menjelang operasi.  
Sinta yang dengan sabar menunggu dan membersihkan wajahku saat aku masih setengah sadar di tengah malam.  
Pak Doni, dokter kebanggaan kelas kami, yang turut membantu menenangkan.  
Jerry, Alfaridho, Hanaloka, Mba Cutek, dan Damas, terima kasih telah datang meski membuatku tertawa (dan perutku semakin sakit). 
Joe, muridku yang membantu membawa barang saat pulang.  
Mas Yuwono dan Rusnandi yang membawakan makanan.  
Rakha yang memberikan bantal lucu.  
Dr. Singgih Annas, dokter yang menangani saya dengan sabar dan profesional.  
Kak Syeean dan Mas Febri yang datang ke kos membawa buah.  
Bu Asa Vaca dan geng YPPSB yang mengirimkan kue yang sangat enak.  
Hamba Allah yang membelikan bubur siang dan malam.  
Ibu kos yang memasakkan sup ikan gabus dan menyediakan buah di pagi hari.  
Bang Hari yang membantu Faisal mengambil baju di kos.  
Dan pendamping pasien dari Purworejo yang dengan baik hati membantu dua pasien sekaligus, termasuk saya.

Penutup

Dari semua pengalaman ini, saya belajar beberapa hal penting:
Tubuh kita tidak bisa ditunda. Apa yang kita makan dan lakukan hari ini akan berpengaruh di masa depan.  
Sakit datang tanpa permisi. Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan diri, baik melalui BPJS, dana darurat, atau setidaknya memiliki teman dekat yang bisa dimintai tolong.  
Kesendirian bukan berarti kita sendirian. Banyak kebaikan kecil yang hadir saat kita mau terbuka.

Menjadi perantau mengajarkan saya bahwa kemandirian bukan hanya tentang bisa hidup sendiri, tetapi juga tentang berani menerima bantuan dari orang lain. Terkadang, Tuhan menolong kita melalui tangan mereka. 

Sakit memang mahal, tetapi sembuh adalah anugerah.
Sehat itu sederhana: bisa bergerak, bisa tertawa, dan tetap memiliki rasa syukur.

Tulisan oleh:

Baharuddin
Magister Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
Persiapan Keberangkatan (PK) 259
Angkatan Awardee: 2025 Gasal

Reviewer:
Ni Wayan Agustina Eka Ratnawati
Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *