Akhir Agustus lalu, Menteri Keungan RI Sri Mulyani mengatakan bahwa ancaman resesi semakin nyata. Ia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III/2020 akan berada di rentang minus 2% hingga 0% dan sepanjang tahun 2020 ini, berada di kisaran minus 1,1% hingga positif 0,2%. Ancaman resesi ini diakibatkan melemahnya perekonomian Indonesia dan global seturut dengan merebaknya wabah COVID-19 (Detik.com, 2020). Melihat kondisi ini pemerintah telah melakukan berbagai macam cara untuk memulihkan kondisi ekonomi seperti pemberian stimulus kepada para pelaku UMKM, insentif bagi tenaga kerja, dan anjuran untuk membeli dan memproduksi produk lokal. Sebelumnya, untuk tetap menjaga produktivitas masyarakat, pemerintah telah menerapkan sebuah tatanan baru yang disebut new normal. Tatanan itu adalah kebiasaan dan perilaku yang baru berbasis pada adaptasi untuk membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat. New normal sendiri merupakan skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi (Tirto.id, 2020).
Berbicara pemulihan ekonomi di era new normal, keberadaan pesantren layak untuk diperhitungkan. Pesantren sebagai sebuah institusi, memiliki potensi yang baik untuk dijadikan sebagai basis pemberdayaan ekonomi masyarakat. Sebagai institusi budaya yang lahir dari prakarsa dan iniastif masyarakat, pesantren memiliki corak yang khas. Kekhasan itu terletak pada peran sentral kyai dan kedekatannya dengan masyarakat (Suwito, 2008). Kyai menjadi orientasi model para santi dan masyarakat. Interkasi kyai dengan para santri membentuk identitas prilaku koloktif intrenal psesantren yag kemudian menjadi role model bagi masyarakat. Oleh sebab itu pesantren bisa dikatakan sebagai agen perubahan sosial.
Sementara itu, di satu sisi pesantren sering dianggap sebagai kalangan terpinggirkan yang lekat dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Kebanyakan pesantren masih memposisikan dirinya hanya sebagai institusi pendidikan keagamaan (Lugina, 2018). Tidak sedikit pesantren yang masih apatis terhadap kemajuan ekonomi karena menganggapnya hanya suatu yang bersifat duniawi. Ironisnya banyak dari pesantren –terutama di pedesaan- yang menggantungkan ekonominya hanya kepada iuran santri, sedekah masyarakat, dan sumbangan dari pihak-pihak tertentu. Tidak jarang sumbangan tersebut berasal dari pejabat atau partai politik tertentu. Kondisi ini menyebabkan pesantren rawan dimobilisasi atau dipolitisasi untuk kepentingan politik elektoral.
Cara pandang beberapa kalangan pesantren bahwa bekerja atau mencari harta adalah urusan duniawi menyebabkan para santri hanya dibekali ilmu agama saja. Mereka tidak dibekali keterampilan yang memadai untuk menghadapi kehidupan pasca-pesantren. Banyak santri yang telah lulus dari pesantren dan kembali ke masyarakat mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan yang mapan. Mereka akhirnya bekerja serabutan atau menjadi guru agama yang secara tidak langsung bergantung pada sedekah masyarakat.
Selain itu, bertumpunya ekonomi pesantren pada keberadaan santri membuat Pandemi COVID-19 benar-benar berdampak pada prekonomian pesantren dan lingkungan sekitarnya (Kahfi, 2020). Banyak keluarga kyai yang memanfaatkan keberadaan santri untuk meraih keuntungan ekonomi dengan cara berjualan. Ketika wabah merebak dan santri diliburkan, tidak ada lagi yang membeli dagangan mereka. Akibat melemahnya kondisi ekonomi orang tua santri juga berdampak terhadap pemasukan pesantren melalui iuran bulanan.
Melihat kondisi seperti di atas, pengoptimalan pesantren sebagai basis pembedryaan ekonomi masyarakat sangat penting. Setidaknya ada dua alasan mengapa pesantren bisa dijadikan basis pemberdayaan ekonomi masyarakat di era new normal. Pertama, secara sosiologis, pesantren memiliki keunggulan dan kedekatan strategis untuk memberdayakan masyarakat. Ikatan keagamaan serta kharisma kyai dalam sebuah masyarakat merupakan faktor signifikan yang bisa menempatkan pesantren sebagai motor penggerak pemberdayaan masyarakat, termasuk pemberdayaan ekonomi.
Kedua, pesantren memiliki sumber daya yang melimpah baik aset maupun sumber daya manusia. Dalam hal ketersediaan aset, pesantren biasanya memiliki lahan yang luas dan aset-aset lainnya baik berupa milik kyai atau berupa harta wakaf. Pesantren sendiri memiliki sumberdaya mansuia yang cukup banyak yaitu santri, tinggal bagaimana pesantren mengelolanya.
Ketiga, Agama memiliki faktor yang kuat untuk menggerakan dalam kehidupan ekonomi. Hal ini sudah dibuktikan oleh para ahli seperti Kenneth Boulding dan Max Weber (Nadzir, 2015). Menurut Boulding, pengaruh agama protestan mempunyai dampak terhadap kehidupan ekonomi dan sejarah. Agama turut mempengaruhi pengambilan keputusan mengenai jenis komoditi yang diproduksi, terbentuknya kelembagaan ekonomi dan tentu juga praktek-praktek atau perilaku ekonomi. Hal ini diperkuat oleh temuan Weber, bahwa hahwa agama, dalam hal ini etik protestanisme, turut memberi saham terhadap perkembangan kapitalisme dan revolusi industri. Islam sendiri memasukan aktivitas ekonomi ke dalam muammalah (urusan duniawi/ hubungan antar manusia). Islam sebenarnya menekankan pada keseimbangan orientasi ukhrawi (urusan akhirat) dan urusan duniawi. Harta adalah bekal beribadah menuju kehidupan yang kekal di akhirat (Nadzir, 2015). Syiar agama-pun membutuhkan harta. Itulah sebabnya ada ungkapan yang berbunyi “beramallah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati besok, bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya”. Bahkan ada hadist yang berbunyi “Kada al faqru an yakuuna kufron”, kefakiran atau kemiskinan mendekatkan pada kekufuran (Suwito, 2008). Islam sendiri sudah mengatur segala seuatu yang berkaitan dengan ekonomi dalam fiqh muammalah. Dari sinilah kemudian muncul istilah ekonomi syariah. Yaitu sistem ekonomi yang berdasar pada hukum Islam. Sebagai lembaga keagamaan, pesantren sudah sepantasnya terdepan dalam pengembangan ekonomi syariah.
Untuk mengoptimalkan potensi pesantren sebagai basis pemberdayaan ekonomi umat, setidaknya ada dua sektor yang bisa dikembangkan. Pertama, usaha di bidang pertanian, peternakan dan perikanan. Sebagaimana disinggung di atas, kebanyakan pesentren memiliki aset lahan yang luas yang bisa berupa harta wakaf atau aset milik kyai itu sendiri. Lahan-lahan itu bisa dikembangkan menjadi pertanian, peternakan, atau perikanan. Untuk menjalankan usaha ini pesantren bisa memberdayakan santri dan masyarakat sekitar. Dengan adanya usaha-usaha tersebut, kebutuhan konsumsi pangan di lingkungan pesantren dan sekitarnya akan tercukupi. Selain itu, usaha-usaha ini bisa membantu ekonomi santri dan masyarakat. Sebab santri yang bekerja pasti akan mendapat bayaran, dan masyarakat bisa menjadi mitra sebagai agen penjualan hasil produksinya sehingga ada penghasilan tambahan bagi masyarakat. Program seperti sudah berjalan di Jawa Barat yang dukung oleh pemerintah provinsi dengan nama OPOP (one pesantren one product).Sehingga pesantren-pesantren memiliki produk-produk unggulan sesuai dengan karakteristik dan kekhasan daerah setempat.
Kedua, sebagai lembaga keagamaan yang memiliki kedekatan dengan masyarakat, pesantren sangat ideal untuk mengembangkan ekonomi syariah. Salah satu yang bisa dikembangkan di pesantren adalah koperasi syariah atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Fungsi BMT sebagi tamwil yang berperan sebagai penghimpun dan pengelola dana bisa menghimpun dana dari santri, ustaz, kyai, dan masyarakat serta bisa memberikan produk pembiayaan berupa pinjaman kepada mereka dengan skema sesuai prinsip syariah. Hal ini dapat mengurangi ketergantungan masyarakat yang sulit mengakses perbankan terhadap rentenir atau bank keliling yang biasanya alaih-laih menolong malah memberatkan masyarakat dengan memasang suku bunga yang sanat tinggi. Selain itu fungsi BMT sebagi baitul mal bisa menghimpun dana zakat, infaq, sedekah, dan wakaf yang bisa dikelola dan disalurkan ke pihak-pihak yang berhak. Dengan demikian perputaran uang di lingkungan pesantren dan sekitarnya akan semakin baik dan prekonomian akan semakin meningkat.
Dengan optimalisasi pemberdayaan ekonomi measyarakat berbasis pesantren di tengah pandemi COVID 19 dan new normal, ekonomi pesantren dan masyarakat sekitarnya akan tetap kuat. Hal ini akan semakin menguatkan peran pesantren sebagai bagian integral dari masyarakat Indonesia dalam proses pembangunan bangsa. Lebih dari itu, hal ini sesuai tujuan Sustanable Development Goals (SDGs) 2030 yang diantaranya “mengakhiri kemiskinan dalam bentuk apapun dan dimanapun” serta “mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian yang berkelanjutan”. Pemberdayaan ekonomi pesantren memang merupakan upaya pembangunan yang berkelanjutan, sebab pesantren akan selamanya ada dan hadir di tengah masyarakat. Pesantren sebagai institusi budaya memiliki legitimasi yang kuatdalam mendorong perubahan sosial, yaitu legitimasi keagamaan. Dengan legitimasi tersebut pesantren sangat potensial untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di segala bidang, yang salah satunya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Anggraeni, Rina. (2020). Ancaman Resesi Makin Nyata, Sri Mulyani: Pemulihan Ekonomi Kita Sangat Rapuh. Sindonews.com. 15 September 2020.
Kahfi, Shofiyullahul & Ria Kasanova. (2020). Manajemen Pondok Pesantren di Masa Pandemi COVID-19 (Studi Pondok Pesantren Mambaul Ulum Kedungadem Bojonegoro). Jurnal “Pendekar” Vol 3 No. 1 April 2020.
Lugina, Ugin. (2018). Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren di Jawa Barat. Jurnal Risalah Vol. 4, No. 1, March 2018.
Nadzir, Mohammad. (2015). Membangun Pemberdayaan Ekonomi di Pesantren. Jurnal “Economica” Vol. VI Edisi 1 Mei 2015.
Putsanra, Dipna Videlia. (2020). Arti New Normal Indonesia: Tatanan Baru Beradaptasi dengan COVID-19. Tirto.id. 15 September 2020.
Suwito, NS. (2017). Model Pengembangan Ekonomi Pondok Pesantren. Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan Vol. 6 No. 3 Juli-September 2008.
Syakur, A. (2009). Optimalisasi Peran Pesantren Dalam Pengembangan Ekonomi Syari’ah. IQTISHODUNA, 4(3).
(Juara Harapan 1 Lomba Esai Nasional Jurnal Paradigma UGM 2020)
Penulis:
Gun Gun Gunawan, Mahasiswa Magister Center for Religious & Cross-cultural Studies Sekolah Pascasarjana UGM