Apa mungkin bertani dilakukan secara tradisional berbasis ekologi? Pertanyaan itu membawa saya kepada John dan Moly Chester dalam dokumenter The Biggest Little Farm. Sepasang suami istri itu berhasil memikat investor dengan ide gila pertanian tradisional berbasis filosofi ekologi. Mereka secara tekun membudidayakan berbagai komoditas tanaman dengan teknologi indigenos berupa masukan organik seperti biofertilizer, biostimulan, dan biopestisida. Dalam 10 tahun sejak 2011, di era paska Revolusi Hijau, integrated farming ecosystem yang ramah lingkungan dan berkelanjutan terbentuk pada 200 hektar lahan kering dan keras Los Angeles. Hingga kini, terdapat lebih 200 varietas buah dan sayur ditanam di kebun yang mereka namai Apricot Lane Farm dan tersertifikasi organik, biodinamik, dan organik regeneratif.
Revolusi Hijau, meskipun mampu menangkis Malthus soal ketidakcukupan pangan, disepakati oleh banyak pihak membawa destructive challenge yang besar, terutama disebabkan pemakaian “liberal” pupuk dan pestisida kimia sintetis. Tanah rusak, eksplosi organisme pengganggu tanaman (OPT) yang sulit dikendalikan, ditolaknya ekspor komoditas pertanian karena mengandung residu pestisida, adalah tantangan baru yang muncul. Swaminathan kemudian mendekonstruksi Revolusi Hijau dengan konsep Evergreen Revolution atau di Indonesia dikenal Revolusi Hijau Lestari yang mengedepankan konsep pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan. Apa yang dilakukan keluarga Chester merupakan praktik konsep bertani ini.
Persoalan negatif Revolusi Hijau sudah lama dihadapi Indonesia. Kementerian Pertanian RI merespon itu dengan mencanangkan 1.000 Desa Pertanian Organik. Tidak kalah cepat dan masif dengan keluarga Chester, hanya butuh 2 tahun, sebanyak 650 Desa dengan luasan lahan 23.375 hektar telah dikonversi menjadi sentra pertanian padi organik tersertifikasi. Produk hortikultura organik di Yogyakarta juga turut menunjukkan taringnya di pasar internasional. Sayangnya, baru 0,14% lahan sawah dan kebun yang diterapkan budidaya dengan masukan organik. Petani secara umum masih menganggapnya sebagai metode budidaya alternatif yang terkesan ribet, butuh modal besar, dan waktu yang lama. Masih banyak petani melakukan budidaya secara konvensional. Ketersediaan masukan organik belum banyak beredar. Masukan sintetis tetap mendominasi di toko-toko sarana produksi pertanian. Padahal, Evergreen Revolution seiring kesadaran konsumen akan keamanan pangan yang semakin tinggi menjadi tren global saat ini. Aktivitas perdagangan bebas internasional komoditas pertanian pun menghendaki standar sanitari dan fitosanitari yang ketat.
MarketsandMarkets membuktikan geliat Evergreen Revolution dengan melaporkan global market size produk masukan organik pada 2019 yang mencapai 8,8 triliun USD dan dirpoyeksikan tumbuh 13,6% untuk menyentuh 18,9 triliun USD pada 2025. Pemain utama produk masukan organik ini meliputi USA, Belanda, Jerman, Swiss, Italia, Spanyol, Kanada, Israel, dan India. Indonesia dengan mega biodiversitas terbesar kedua di dunia seharusnya mampu menyediakan teknologi masukan organik indigenos yang merupakan pondasi Evergreen Revolution. Tidak hanya berpotensi untuk memenuhi kebutuhan nasional, ini juga dapat menjadi branding strategy Indonesia sebagai lumbung pangan sehat dan aman dunia! Indonesia semestinya tidak ketinggalan oleh India dengan visinya sebagai pabrik pangan dunia, Thailand sebagai dapur pangan dunia, dan Malaysia sebagai pusat pengembangan makanan halal dunia. Bagaimana mungkin? Dengan strategi seperti apa?
Indonesia dianugerahi kelimpahan spesies indigenos sebagai bahan baku biofertilizer, biostimulan, dan biopestisida: (1) sedikitnya 10.000 spesies tumbuhan teridentifikasi mengandung metabolit sekunder yang berpotensi sebagai bahan utama biofertilizer dan biopestisida, (2) beraneka macam bunga, gulma, dan tumbuhan liar dapat ditanam sebagai refugia, (3) beragam bakteri dan jamur telah diketahui multiperan, yakni sebagai agen hayati pengendali hama dan patogen tanaman, biostimulan penyedia unsur hara tanaman, pemicu ketahanan tanaman terhadap OPT, dan pembenah tanah, (4) beragam virus, protozoa, dan nematoda juga diketahui mampu mengendalikan OPT, dan (5) predator hama alami seperti burung hantu dan parasitoid juga mudah ditemukan. Selain itu, biaya research and development masukan organik ini 30-50 kali lebih sedikit dibanding masukan sintetis, cepat dieksplorasi dan diuji, tidak tergantung pada komoditas tanaman utama, serta tidak mudah memicu resistensi dan resurjensi hama dan patogen.
Environtmental factors yang membatasi peran agen hayati tidak luput diurai oleh Soesanto dengan teknologi revolusioner metabolit sekunder agen hayati. Media pembiakannya pun dibuat dengan bahan yang relatif murah dan mudah didapat seperti air cucian beras dan kaldu hama keong.
Indonesia juga memiliki sumberdaya genetik tanaman indigenos yang melimpah untuk merakit varietas unggul baru yang berproduktivitas tinggi, tahan OPT, dan adaptif terhadap cekaman abiotik. Variasi tanaman itu menyokong multiple cropping dan crop rotation yang juga menjadi elemen penting Evergreen Revolution untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menjaga kestabilan ekosistem. Ditambah lagi, terdapat 9,3 juta hektar lahan tidur Indonesia yang dapat dibenahi dengan masukan organik dan ditanami varietas-varietas unggul adaptif.
Saya dan komunitas Pacul (Plant Cultivation for Sustainable Agriculture) Project telah membuktikan peran masukan organik dengan membudidayakan beberapa komoditas tanaman berbasis teknologi indigenos. Sharing teknologi itu juga kami lakukan kepada petani di Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Pemalang, dan Kebumen. Kami melihat antusiasme petani selama mengikuti sosialisasi, praktik, dan demonstrasi plot yang kami adakan. Disayangkan, keterbatasan kami sebagai pelajar tidak memungkinkan untuk membersamai petani secara intensif dan dalam waktu lama. Namun, pelajaran penting yang kami dapati adalah bahwa petani sebenarnya memiliki minat yang besar terhadap teknologi masukan organik indigenos. Mereka memerlukan bukti nyata, pendampingan yang tidak cukup satu kali musim tanam, dan market value serta market chain yang jelas.
Indonesia harus tinggal landas menuju Evergreen Revolution secara bertahap kemudian melakukan apa yang disebut Poerwanto dkk. merevolusi Revolusi Hijau secara total bagi ketersediaan pangan yang sehat dan aman. Perlu nafas panjang dan upaya tidak mudah untuk mencapai visi branding strategy ini sebagaimana John dan Moly Chester tempuh. Kerjasama berbagai elemen sangat penting bagi agenda maraton ini.
Pemangku kebijakan dapat meneruskan Desa Pertanian Organik dengan branding nasional lebih besar seperti Revolusi Hijau Lestari yang menyasar seluruh petani berbagai komoditas serta menjamin infrastruktur, modal, dan asuransi pertanian. Masyarakat diinformasikan tentang pentingnya pangan yang sehat dan aman melalui platform-platform sosial. Penyuluh pertanian secara masif dan holistik memberikan pengarahan, pendampingan pratik, dan pembuktian lapang terhadap petani secara berkelanjutan sehingga teknologi indigenos dapat diterapkan maksimal. Saintis multidisiplin bersama-sama menempatkan diri dalam ruang keterbaruan pertanian khususnya terkait teknologi indigenos. Demand teknologi masukan organik indigenos yang tercipta diambilalih oleh Negara, swasta, dan/atau petani yang membentuk korporasi berbasis koperasi dalam mensuplai ketersediaannya. Mekanisasi dan digitalisasi dengan andil milenial juga mengambil fungsinya bagi efisiensi produksi dari hulu hingga hilir. Ini akan membentuk ekosistem pertanian baru di Indonesia. Pangan sehat, aman, dan berkualtas tidak lagi ekslusif, melainkan sebagai new consumption standard yang mudah diperoleh masyarakat.
Ya! Pertanian Indonesia masa depan merupakan sektor usaha utama dan bukan lagi subsisten. Terbukti pertanian mampu survive melewati berbagai krisis, salahsatunya hanya mengalami penurunan 0,9% di masa pandemi COVID-19 sekarang ini. Indonesia akan kembali berjaya setelah era rempah dan swasembada pangan. Ketercapaian World Sustainable Development Goals dan ketersediaan pangan bagi planet yang lapar dengan 9 milyar penghuni pada 2050 akan dikontribusi oleh Indonesia. Dengan potensi teknologi indigenosnya, Indonesia akan menjadi kiblat Evergreen Revolution dan lumbung pangan sehat dan aman dunia. Titik tolaknya sudah ditandai oleh Kementerian Pertanian RI. Sekali lagi, Malthus ditangkis.
Penulis:
Gilang Vaza Benatar, Indramayu tulen, PK-114, mahasiswa S2 Fitopatologi UGM.