Christer Jönsson dan Martin Hall dalam bukunya bertajuk “Essence of Diplomacy” mengatakan bahwa negosiasi merupakan instrumen kunci bagi diplomasi (Jönsson & Hall, 2005, p. 3). Senada dengan Jönsson dan Hall, Stearns menyampaikan bahwa negosiasi juga umumnya dipandang sebagai inti dan bentuk akhir dari diplomasi (Stearns, 1996, p. 132). Berangkat dari hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa diplomasi yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah Indonesia pun tidak terlepas dari elemen negosiasi. Bahkan dalam pelbagai kesempatan, negosiasi memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan dan kegagalan diplomasi Indonesia. Oleh karenanya, sesuai dengan judul di atas, pada tulisan kali ini penulis akan mencoba mengelaborasikan pentingnya negosiasi dalam jantung diplomasi Indonesia. Sebagai bukti pendukung, tulisan ini selanjutnya akan fokus menyingkap bagaimana efektivitas negosiasi menentukan berhasil atau tidaknya diplomasi prioritas 4+1 yang digaungkan oleh Menteri Luar Negeri Retno L. P. Marsudi dewasa ini. Adapun guna mempertajam bahasan, tulisan ini akan membatasi cakupan diplomasi prioritas 4+1 tersebut ke dalam tiga lingkup, yaitu diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan, dan diplomasi kedaulatan dan perbatasan.
Diplomasi Ekonomi
Diplomasi ekonomi merupakan salah satu prioritas yang terus digenjot oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Dalam Rapat Kerja Kepala Perwakilan RI 2020, Bapak Presiden memberikan arahan agar 70 hingga 80 persen sumber daya dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri perlu digunakan untuk mendorong diplomasi ekonomi (Kemenlu, 2020). Presiden menekankan peran para Duta Besar dan diplomat Indonesia di luar negeri menjadi sales untuk menjual produk Indonesia dan menemukan cara-cara kreatif untuk mengaksesi pasar-pasar unggulan (tradisional) dan potensial (non-tradisional). Kementerian Luar Negeri dalam hal ini mendapatkan mandat khusus dari Presiden untuk fokus memperkuat diplomasi ekonomi (Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri, 2020). Dalam praktiknya, negosiasi dalam diplomasi ekonomi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena diplomasi ekonomi pada implementasinya syarat dengan negosiasi-negosiasi bisnis baik antara business to business (B to B), business to government (B to G), maupun government to government (G to G). Sebagai contoh, pengiriman 400 gerbong kereta api dari PT INKA ke Bangladesh; pengiriman gerbong kereta api PT INKA dan unit pesawat NC 212i PT DI ke Thailand; pengiriman 4 Diesel Multiple Unit (DMU) dan gerbong kereta api ke Filipina; pengiriman pesawat CN 235 ke Senegal; pengiriman isotop PT Inuki dan pesawat N-219, N-212 dan N-235 ke Meksiko; proyek pembangunan infrastruktur di Niger dan Filipina; investasi PT Telkom di Hongaria; serta pemangunan pabrik mie instan di Serbia (Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri, 2019). Disamping itu, negosiasi juga memerankan peran penting dalam menyukseskan penyelenggaraan Indonesia Africa Infrastructure Dialogue (IAID) yang menghasilkan 11 business deals bagi BUMN/Swasta Indonesia dengan 6 (enam) negara dan 1 (satu) Lembaga senilai USD822 juta (Lampiran Pidato Presiden Republik Indonesia, 2020).


Keberhasilan negosiasi dalam diplomasi ekonomi di atas setidaknya didukung oleh dua faktor. Pertama, persiapan matang sejak perencanaan. Salah satu contoh akurat untuk membuktikan faktor ini adalah kegiatan IAID yang telah direncanakan sedari awal sebagai Proyek Prioritas Nasional (ProPN). Kedua, infrastruktur diplomasi dan potensi dalam negeri (bargaining power). Indonesia memiliki modalitas yang kuat untuk menunjang pelaksanaan negosiasi dalam diplomasi ekonomi. Di luar negeri, Indonesia memiliki 132 perwakilan di luar negeri, 44 atase teknis (terdiri dari 22 atase perdagangan, 4 atase pertanian, 5 atase keuangan, dan 13 atase ketenagakerjaan), 19 Indonesian Trade Promotion Center (ITPC), 8 Indonesian Investment Promotion Center (IIPC), dan 23 Visit Indonesia Tourism Office (VITO). Dalam hal ini, kehadiran perwakilan RI di luar negeri bermanfaat untuk menjadi ujung tombak dalam memperjuangkan kepentingan di negara-negara mitra terutama dalam situasi pandemi saat ini (Saiman, 2020). Sementara di dalam negeri, potensi ekonomi Indonesia juga cukup besar seperti memiliki beragam sektor industri berkembang, memiliki banyak destinasi pariwisata yang dapat dipromosikan ke wisatawan mancanegara, dan jumlah pelaku usaha yang dapat diberdayakan untuk mendukung ekspor dan investasi juga sangat banyak.


Diplomasi perlindungan WNI dan BHI merupakan salah satu prioritas pemerintah sesuai direktif Presiden pada Nawacita Kedua yaitu “Perlindungan bagi Segenap Bangsa dan Memberikan Rasa Aman pada Seluruh Warga” (Lampiran Pidato Presiden Republik Indonesia, 2020). Sepanjang 2019, Kementerian Luar Negeri telah memperkuat kinerja pelindungan dengan menangani 27.033 kasus WNI di luar negeri, menyelamatkan Rp197,71 miliar hak finansial WNI/pekerja migran Indonesia, dan merepatriasi 17.607 orang WNI bermasalah (Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri, 2019, p. 4). Selain itu, Pemerintah Indonesia juga berhasil memulangkan dua WNI/ABK korban penyanderaan kelompok bersenjata di Filipina Selatan setelah disandera selama 90 hari.

Keberhasilan diplomasi perlindungan WNI dan BHI tersebut di atas dicapai melalui negosiasi yang intens dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan negara mitra setempat. Salah satunya melalui mekanisme bilateral terkait perlindungan PWNI dan kerja sama kekonsuleran. Pada tahun 2019, konsultasi Konsuler telah dilakukan dengan beberapa negara mitra, seperti Australia, India, Iran, Uni Eropa, Jepang, dan Korea (Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri, 2020). Walaupun demikian, sebagaimana dirangkum dari pelbagai sumber, upaya negosiasi dalam diplomasi perlindungan WNI/BHI masih terkendala oleh beberapa hal yakni, belum terintegrasinya data WNI/BHI secara menyeluruh (Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, 2019), meningkatnya jumlah WNI yang melakukan perjalanan ke luar negeri tanpa melakukan prosedur yang tepat (Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri, 2019), dan kompleksitas permasalahan WNI/BHI (Lampiran Pidato Presiden Republik Indonesia, 2020).
Diplomasi Kedaulatan dan Perbatasan

Secara geografis, Indonesia memiliki batas laut dengan 10 negara tetangga yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam, India, Timor Leste, Australia, Republik Palau, dan Papua Nugini. Sementara untuk batas darat, Indonesia mempunyai perbatasan dengan tiga negara yakni Malaysia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Mengingat strategisnya isu perbatasan, Pemerintah Indonesia tengah gencar meningkatkan intensitas perundingan perbatasan baik untuk batas laut maupun darat dalam rangka menjaga integritas kedaulatan NKRI. Dalam kurun lima tahun terakhir, Pemerintah Indonesia sendiri telah melaksanakan sedikitnya 129 perundingan perbatasan.
Intensnya diplomasi perbatasan telah membuahkan beberapa capaian yang progresif, seperti menuntaskan perundingan dan mendepositkan perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia-Filipina ke PBB, intensifikasi penyelesaian dua Joint Technical Proposals (JTP) Garis Batas Laut segmen Laut Sulawesi dan Selat Malaka bagian Selatan oleh Tim Teknis Penetapan Batas Maritim (PBM) Indonesia-Malaysia, pengerucutan perbedaan proposal batas maritim dan menyepakati penyelesaian proposal teknis bersama oleh Tim Teknis PBM Indonesia-Vietnam, dan penyelesaian tahapan first reading negosiasi ASEAN-China Code of Conduct in the South China Sea (COC) dan pembentukan possible milestone di tahap awal negosiasi second reading (Lampiran Pidato Presiden Republik Indonesia, 2020).
Meskipun capaiannya cukup signifikan, perundingan perbatasan sebenarnya merupakan upaya yang cukup sulit dilakukan mengingat adanya hambatan dan kendala di luar kontrol Pemerintah Indonesia seperti perubahan prioritas, geopolitik, dan pergantian pemerintahan di negara mitra. Bahkan, di tengah pandemi saat ini banyak perundingan perbatasan yang tertunda karena negara-negara cenderung tidak mau untuk bertemu secara virtual dengan alasan teknis dan kerahasiaan. Hal ini juga sejalan dengan yang disampaikan oleh Konsul Jenderal Indonesia di New York Bapak Dr. Arifi Saiman yang mengatakan bahwa walaupun para diplomat di tengah pandemi Covid-19 saat ini berupaya untuk mulai membiasakan diri dengan budaya komunikasi secara virtual dalam konteks diplomasi dan negosiasi, pola komunikasi virtual tersebut belum sepenuhnya dapat menggantikan pola komunikasi konvensional melalui tatap muka (Saiman, 2020). Menurutnya, setiap negara masih mempertimbangkan aspek keamanan informasi dan belum dapat menjamin pelaksanaan komunikasi virtual bebas dari penyadapan.
Penulis: Fahrizal Lazuardi, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, Awardee LPDP UGM Angkatan 2020
Editor: Muhammad Yuliantito Budiono
[1] Infografis diakses melalui https://cerdika.com/batas-wilayah-negara-indonesia/…..India
Referensi
Jönsson, C., & Hall, M. (2005). Essence of Diplomacy. New York: PALGRAVE MACMILLAN.
K. /. (2020). Lampiran Pidato Presiden Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kemenlu. (2020, Januari Kamis). Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Kepala Perwakilan Republik Indonesia dengan Kementerian Luar Negeri, 9 Januari 2020, di Istana Negara, DKI Jakarta. Retrieved from Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia: https://kemlu.go.id/portal/id/read/1619/pidato/peresmian-pembukaan-rapat-kerja-kepala-perwakilan-republik-indonesia-dengan-kementerian-luar-negeri-9-januari-2020-di-istana-negara-dki-jakarta
Marsudi, R. L. (2019). Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri. Jakarta: Kementerian Luar Negeri.
Marsudi, R. L. (2020). Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri. Jakarta: Kementerian Luar Negeri.
Nasional, K. P. (2019). Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Negeri, K. L. (2019). Laporan Kinerja Kementerian Luar Negeri. Jakarta: Kementerian Luar Negeri.
Saiman, A. (2020, Oktober Jumat). Kuliah Umum: Tinjauan Kritis Hubungan Internasional di Tengah Pandemi. Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
Stearns, M. (1996). Talking to Strangers: Improving American Diplomacy at Home and Abroad. Princeton: NJ: Princeton University Press.
No responses yet