Perahu Kecil di Laut Asing
Prolog
Aku bukanlah kapal megah dengan layar menjulang. Aku hanyalah perahu kecil, tubuhku sederhana, dayungku tak seberapa, dan kayuku pun masih menyisakan aroma hutan tempat aku dilahirkan. Aku tidak pernah benar-benar meminta untuk berlayar jauh, apalagi memasuki laut asing yang begitu luas. Namun, seperti segala sesuatu dalam hidup, ada saat di mana perahu tidak bisa selamanya terikat pada dermaga. Tali tambat akan dilepas, ombak akan memanggil, dan meskipun hatiku dipenuhi keraguan, aku pun diletakkan di atas air yang tenang untuk memulai perjalanan.
Awalnya, aku kira laut yang kutuju akan sama saja seperti teluk kecil tempatku biasa mengapung. Nyatanya, tidak. Laut ini jauh lebih lebar, lebih liar, lebih asing dari segala yang pernah kubayangkan. Saat pertama kali melangkah masuk ke laut asing itu, aku nyaris terperangah. Gelombangnya bergerak seperti makhluk hidup, berlapis-lapis, tak pernah benar-benar diam. Dari kejauhan, laut tampak indah, birunya menenangkan. Tetapi ketika aku berada di atasnya, keindahan itu berubah menjadi ketidakpastian.
Airnya terasa lebih berat, seolah menyimpan rahasia yang tidak mudah dibaca. Arus bawah laut mendorong tubuhku ke arah yang tidak kumaksud. Sementara angin yang kuharapkan menjadi sahabat justru berhembus terlalu kencang, membuat layarku berkibar tak terkendali. Aku menyadari bahwa aku hanyalah tamu di laut ini. Aku tidak bisa memerintahnya, tidak bisa meminta ombak untuk tenang, tidak bisa memaksa arus untuk mengikuti kehendakku. Yang bisa kulakukan hanyalah belajar menerima bahwa aku berada di wilayah yang bukan milikku, lalu menyesuaikan diri sebisa mungkin.
Ombak Pertama
Ombak pertama yang menyapaku tidaklah ramah. Ia datang tiba-tiba, mengguncang tubuhku, memaksaku menunduk dalam-dalam. Kayuku berderit, dayungku hampir terlepas. Aku merasa kecil, rapuh, hampir tak berarti di tengah dentuman air yang berulang. Namun, justru dalam guncangan itu aku belajar: tubuhku ternyata tidak selembar kertas. Aku bisa bergetar, bisa terombang-ambing, tetapi aku tidak langsung pecah. Ada kekuatan yang selama ini tidak kusadari, kekuatan yang hanya muncul ketika diuji.
Ombak berikutnya datang lagi, lebih tinggi. Kali ini aku sudah siap. Aku menunduk, merendahkan diriku, membiarkan gelombang lewat di atasku. Aku sadar bahwa melawan hanya akan membuatku hancur. Kadang, bertahan berarti tahu kapan harus merendahkan diri. Laut asing ini penuh arus yang tak pernah kuduga. Ada kalanya arus menarikku ke kanan, lalu tiba-tiba menghempaskan ke kiri. Ada kalanya aku merasa sudah mendayung lurus, tapi tiba-tiba aku menemukan diriku jauh dari jalur yang kumaksud.
Rasa frustrasi muncul. Aku bertanya-tanya: apakah semua dayungku sia-sia? Apakah semua usaha ini hanya membuatku berputar tanpa arah? Namun perlahan aku mengerti: arus tidak selalu musuh. Kadang ia justru menuntun ke jalur yang tak kukenal, membawa ke tempat-tempat yang tak pernah kucoba hampiri. Di sanalah aku belajar bahwa kendali bukan berarti mengatur segalanya, melainkan tahu kapan harus mengikuti.
Disaat laut tiba-tiba hening. Ombak berhenti berisik, angin pun mengendur. Aku berada di tengah samudra, sendirian. Tidak ada pulau, tidak ada kapal lain, hanya aku dan air yang tak berujung. Kesunyian itu menakutkan. Tanpa arah, tanpa suara, aku merasa seolah waktu berhenti. Aku bertanya-tanya, apakah aku masih bergerak atau hanya mengapung sia-sia.
Namun, dalam diam itulah aku menemukan sesuatu yang tak pernah kurasakan: aku bisa mendengar suaraku sendiri. Aku bisa melihat bintang-bintang, yang selama ini tertutup oleh riuh ombak. Aku mulai belajar membaca mereka, menjadikannya penunjuk arah. Kadang, dalam kesunyian kita justru menemukan suara yang paling jernih.
Perjalanan panjang di laut asing akhirnya membawaku bertemu dengan perahu-perahu lain. Ada yang lebih besar, dengan layar menjulang, ada pula yang lebih kecil dariku. Sebagian tampak berpengalaman, tahu betul bagaimana menghadapi ombak. Sebagian lain sama kikuknya denganku.
Aku sempat merasa rendah hati ketika melihat perahu besar melaju dengan anggun, sementara aku harus berjuang keras hanya untuk tetap tegak. Namun, aku juga menyadari bahwa perahu kecil sepertiku punya kelebihan: aku bisa lebih lincah, bisa masuk ke celah arus yang sempit, bisa bertahan dengan cara yang berbeda. Pertemuan itu mengajarkanku: setiap perahu punya jalannya sendiri. Tak ada yang sepenuhnya sama, dan tak ada alasan untuk terus membandingkan.
Ujian
Suatu malam, badai datang tanpa ampun. Langit menghitam, kilat menyambar, angin berteriak liar. Ombak menjulang setinggi bukit, menghantam tubuhku berkali-kali. Aku merasa inilah akhirku. Kayuku basah kuyup, dayungku nyaris patah, dan setiap hempasan membuatku kehilangan arah. Aku hanya bisa berdoa agar tubuh kecilku sanggup melewati malam itu.
Entah bagaimana, aku masih bertahan. Setiap kali hampir tenggelam, ada kekuatan yang membuatku tetap mengapung. Tidak ada yang heroik, tidak ada kemenangan besar—hanya kegigihan untuk tidak menyerah pada detik itu juga.
Badai mengajarkanku bahwa keteguhan bukan berarti tak pernah goyah, melainkan tetap bertahan meski seluruh tubuh retak. Setelah badai berlalu, aku mulai menyadari pentingnya memahami laut, bukan sekadar melaluinya. Aku belajar membaca arah angin, mengamati arus, dan menengadah ke bintang untuk menemukan jalan.
Aku tidak lagi mendayung secara membabi buta. Aku mulai selaras dengan laut, membiarkan angin membantu layar, membiarkan arus mendorong ke arah yang lebih bijak. Ternyata, semakin aku berhenti melawan, semakin mudah perjalananku. Aku belajar bahwa kebijaksanaan seringkali lahir dari kesediaan mendengar, bukan dari keinginan memaksa.
Hari demi hari, aku mulai menemukan irama laut. Gelombang yang dulu menakutkan kini terasa seperti musik, naik turun dengan tempo tertentu. Angin yang dulu kurasa kejam kini menjadi tarian yang menuntunku.
Aku masih perahu kecil, tak ada yang berubah. Namun aku bukan lagi perahu kecil yang panik. Aku adalah perahu kecil yang tahu caranya bernafas bersama laut. Dalam setiap irama itu, aku menyadari: hidup bukan tentang tiba secepat mungkin ke dermaga, melainkan tentang bagaimana kita menemukan harmoni di perjalanan.
Epilog
Kini aku mengerti: aku tidak pernah benar-benar asing di laut ini. Aku hanyalah bagian kecil dari luasnya samudra. Laut tidak pernah bermaksud menjatuhkanku; ia hanya mengajarkanku cara menjadi lebih tangguh. Aku belajar bahwa laut asing bukanlah tempat untuk ditakuti, melainkan ruang untuk ditempati. Setiap ombak adalah guru, setiap arus adalah petunjuk, setiap badai adalah ujian.
Aku mungkin masih kecil, tapi aku telah menjadi bagian dari cerita besar laut ini. Dan itu sudah cukup membuatku bertahan. Aku tidak tahu ke mana laut ini akan membawaku. Mungkin suatu hari aku akan menemukan pulau yang ramah, atau mungkin aku akan terus mengarungi samudra tanpa ujung. Namun, aku tidak lagi takut. Aku sudah memahami bahwa laut asing hanyalah bagian dari perjalanan. Selama aku tetap berlayar, aku tidak benar-benar tersesat.
Tulisan oleh:

Aulia Ulfa Septiryani
Magister Ilmu Hukum
Persiapan Keberangkatan (PK) 257
Angkatan Awardee: 2025 Ganjil
Reviewer:
Awalia Nur Sakinah
Magister Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan



