Siapakah belahan belahan jiwamu? Seberapa cerdaskah kamu? Siapa selebriti yang sesuai dengan karaktermu? Akan jadi apa kamu beberapa tahun mendatang? Apa status Facebook kamu 10 tahun lagi? Bagi pengguna setia Facebook, tentu pertanyaan-pertanyaan ini tidak lagi asing karena sering muncul di linimasa ketika “berselancar”. Harus diakui beberapa situs pihak ketiga seperti Vonvon.me, Testony.com, NameTests.com, Pengintip.us, Test-IQ.com, dan CheckMyPersonality.com membuat kuis yang dirancang agar memberikan interaksi, lucu serta menarik perhatian. Para pengguna yang sedang bosan, menunggu seseorang atau terjebak macet di jalan tentu secara spontan akan mengklik tautan kuis tersebut. Lalu, tanpa pikir panjang akan langsung menyetujui dan mengklik apapun yang diminta penyedia kuis dan hasil kuisnya pun akan dengan senang hati para pengguna pamerkan di beranda pribadi Facebook. Menyenangkan memang, apalagi dapat diakses secara gratis. Namun, mengutip pemikiran Andrew Lewis, seorang pengembang software, yang mengatakan “Jika kamu mendapatkan sesuatu secara cuma-cuma, kamu bukanlah konsumen, melainkan produk yang sedang dijual.” Artinya, dibalik klik “iya” dan “setuju” ada perputaran uang disana. Uang atas apa? Atas informasi dan data pengguna (Tirto.id, 2016). Dalam kaca mata ekonomi politik, bagi Fusch (2012) akumulasi modal di Facebook didasarkan pada komodifikasi dan data pengguna. Pengguna dalam konteks ekonomi politik merupakan komoditas prosumer yang dieksploitasi oleh situs jejaring sosial ini.
Berdasarkan laporan Detik.com (2018), pada Januari 2018, jumlah pengguna aktif bulanan di Facebook mencapai 2 miliar per bulan. Total sekitar 300 juta foto di-upload di Facebook setiap harinya. Sementara setiap menit, 510 ribu komentar diposting dan 293 ribu status di-update. Bisa dibilang, jika Facebook adalah negara maka penduduknya terbesar di dunia. Berangkat dari kesuksesan Facebook, Fusch (2012) menilai, perlu adanya pemikiran kritis terhadap praktik ekonomi politik khususnya yang berhubungan dengan privasi pengguna dan bagaimana pengguna dieksploitasi untuk dijual ke pengiklan.
Sebelum membahas lebih jauh bagaimana praktik eksploitasi yang dilakukan Facebook terhadap penggunanya, dibutuhkan pemahan terlebih dahulu terkait privasi informasi secara umum. Menurut Fusch (2012: 140-141), privasi informasi berkaitan erat dengan pertanyaan moral seperti bagaimana informasi tentang manusia harus diproses? Siapa yang harus memiliki akses ke data? Bagaimana akses ini akan diatur? Bagaimana bentuk perlindungannya? Privasi informasi menurut Fusch memiliki dilema tersendiri, disatu sisi dapat melindungi masyarakat namun disisi lain tradisi anonimitas membuat kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin kelihatan sebagai akibat dari perlindungan informasi. Asumsi ini didasarkan pada penelitian Fusch terhadap negara-negara seperti Swiss, Liechtenstein, Monako, atau Austria yang memiliki tradisi anonimitas relatif tinggi terutama yang berkaitan dengan rekening bank dan transaksi keuangan. Anonimitas yang didukung oleh UU Perbankan Federal justru mendukung penggelapan pajak, pencucian uang serta menyembunyikan kesenjangan kekayaan. Anonimitas membuat kesenjangan penghasilan dan kekayaan antara yang kaya dan miskin menjadi tidak terlihat dan peraturan UU membantu melegitimasi serta menjunjung tinggi kesenjangan ini. Bagi Fusch, privasi finansial merupakan mekanisme ideologis yang membantu mereproduksi dan memperdalam ketidaksetaraan.
Lantas bagaimana konsep privasi di Facebook? Apakah menimbulkan kegamangan seperti yang diungkapkan Fusch? Fusch dalam melihat praktik ekonomi politik Facebook, tidak terlepas dari gagasan prosumer yang diperkenalkan Alvin Toffler (1980). Prosumer yang membuat batasan produsen dan konsumen menjadi kabur dimanfaatkan Facebook untuk mengurangi biaya investasi dan biaya tenaga kerja dengan memanfaatkan penggunanya sebagai tenaga kerja gratis bahkan mengekspolitasi pengguna untuk menghasilkan keuntungan dengan bantuan data yang diberikan pengguna secara cuma-cuma.
Dalam kasus kuis Facebook, pengguna tidak menyadari dibalik lucu dan menariknya berbagai aplikasi yang ditawarkan, mereka membayar itu semua dengan data profil dan jejak digital lain yang ditinggalkan di internet. Eksploitasi ini dapat dilihat dari salah satu penyedia layanan kuis yakni Vonvon.me. Berdasarkan laman privacy policy yang diamati penulis, terdapat poin yang menyatakan “Kami tidak mengungkapkan data apa pun yang terkait dengan pengguna kepada pihak ketiga mana pun.” Namun pada poin-poin selanjutnya dikatakan Vonvon.me dapat menggunakan data pengguna yang berkenaan dengan pihak ketiga dengan sejumlah ketentuan, salah satunya demi kepentingan bisnis situs ini yang menyatakan “Jika kami menjual atau bernegosiasi untuk menjual bisnis kami kepada pembeli atau calon pembeli, kami mungkin membagikan data pribadi Anda. Dalam situasi seperti itu kami akan secara khusus memastikan kerahasiaan data pribadi Anda dan memberi Anda pemberitahuan sebelum mengungkapkan data pribadi Anda, jika itu mungkin dan diperlukan.” “Pemberitahuan” kepada pengguna ini pun akan dilakukan jika ada ketentuan hukum yang berlaku. Jika negara pengguna yang tidak memberlakukan ketentuan hukum ini maka pihak Vonvon.me akan dengan bebas menjual data pengguna tanpa sepengetahuan pengguna serta tidak adanya konsekuensi materil yang didapat pengguna.
Eksploitasi yang dilakukan Facebook dan pihak ketiga seperti Vonvon.me oleh Fusch (2012: 143-144) dalam konteks ekonomi politik, dilihat sebagai akibat dari modal yang telah dikeluarkan oleh industri media siber dengan menyediakan medium dalam pelibatan khalayak. Fusch menjelaskan secara rinci siklus perusahaan media sosial ini yakni, Facebook berinvestasi uang untuk membeli modal berupa teknologi dan tenaga kerja. Modal teknologi diantaranya ruang server, komputer, dan infrastruktur organisasi. Sementara modal tenaga kerja adalah karyawan Facebook. Hasil dari proses produksi bukanlah komoditas yang dijual langsung, melainkan layanan media sosial (platform Facebook) yang tersedia secara gratis bagi pengguna. Selain platform, produk utama dari media sosial ini adala data pengguna yang meliputi data pribadi hingga data terkait transaksi perilaku browsing dan komunikasi di Facebook. Pengguna semakin didominasi Facebook tatkala situs buatan Mark Zuckerberg ini menjual komoditas data pengguna ke pengiklan dengan harga yang jauh lebih besar dibandingkan modal yang telah dikeluarkan atau bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan politik kelompok dominan tertentu.
Lanjut Fusch, peran pengguna sebagai prosumers dimodifikasi ganda oleh Facebook. Pertama, pengguna merupakan “produk” yang dijual Facebook kepada pengiklan atau pihak ketiga yang bekerjasama dengan situs ini. Kedua, ketika pengguna sedang melakukan kegiatan daringnya, disaat bersamaan mereka terpapar oleh iklan yang ditampilkan dilaman Facebook sehingga sebagian besar waktu online pengguna “dipaksa” untuk mengkonsumsi iklan. Komodifikasi ini tidak terlepas dari kaburnya ranah privat dan publik di era digital yang kemudian dimanfaatkan pemodal dalam industri media siber. Di Facebook, perusahaan mengumpulkan semua data pribadi dan perilaku pengguna serta mengkomodifikasi keduanya, sambil menyembunyikan proses ini dari pengguna. Jadi, bentuk utama privasi yang dijaga Facebook adalah memburamkan penggunaan data pengguna demi kepentingan perusahaan.
Usaha mengimbangi dominannya pengaruh Facebook menurut Manyozo (dalam Nurhaqiqi, 2017: 358-359)[1] dibutuhkan tiga pendekatan khusus yakni kekuasaan (power), partisipasi (participation), dan regulasi (policy). Jika kekuasaan dan partisipasi tidak dapat menandingi Facebook maka pendekatan regulasi memiliki peran sentral dalam mengimbangi gerak cepat media siber ini. Namun, dalam konteks Indonesia, Undang-Undang yang ada belum sepenuhnya melindungi kepentingan publik.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No.11 tahun 2008 misalnya, belum memberikan batasan yang jelas dalam melakukan akses informasi pada media sosial. Alih-alih menjamin keamanan data pengguna di jejaring media sosial, UU ITE lebih berfokus pada kejahatan siber yang pada akhirnya menjadi sarana untuk mengkriminalisasikan kebebasan beropini di dunia maya, baik itu media sosial, blog, dan laman online lainnya. Hingga kini di Indonesia belum ada satupun UU yang mampu menandingi dominasi Facebook. Hal ini oleh Nurhaqiqi (2017: 359) dikarenakan pemerintah masih melihat Facebook hanya sebagai media sosial tempat bertukar informasi biasa bukan pada tedensi ekonomi politik yang mampu merekam data penggunanya diseluruh Indonesia dan mendatangkan keuntungan finansial melimpah.
Melihat lemahnya upaya tandingan oleh pemerintah saat ini, menurut Nurhaqiqi (2017: 360) solusi yang paling strategis dan masuk akal adalah penyadaran publik melalui literasi media secara masif kepada pengguna Facebook. Jika tidak bisa menandingi kuasa informasi yang dilakukan oleh Facebook dan tidak bisa lepas dari penggunaan Facebook, Maka hal yang paling realistis ialah pemanfaatan Facebook semaksimal mungkin untuk memperlancar kehidupan sehari-hari. Pendeknya, kalaupun anda bisa menyerah untuk tak mengklik kuis-kuis sepele seperti yang disodorkan Vonvon.me, bisakah Anda hidup tanpa Facebook? Jika Anda menjawab bisa, maka jawablah juga yang satu ini: bisakah Anda hidup tanpa Google yang maha-mengetahui lagi merekam segala jejak pengguna digitalnya?
Daftar Pustaka
Abdullah, dkk. 2017. Mediamorfosa : Transformasi Media Komunikasi di Indonesia. Yogyakarta: Buku Litera Yogyakarta.
Fusch, Christian (2012). The Political Economy of Privacy on Facebook. Television & New Media. 13 (2). 139-159.
https://tirto.id/kuis-facebook-dan-mimpi-buruk-ruang-pribadi-bsRN diakses tanggal 21 Oktober 2018.
https://inet.detik.com/fotoinet/d-4232248/deretan-statistik-menarik-facebook-whatsapp-dan-instagram/4/#photos diakses tanggal 21 Oktober 2018.
https://id.vonvon.me/terms/privacy-policy diakses tanggal 21 Oktober 2018.
[1] Hanna Nurhaqiqi dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Dua Sisi Mata Uang Media Sosial: Ekonomi Politik Facebook sebagai Inovasi Teknologi dan Kuasa Politik” yang menjadi salah satu tulisan dalam buku “Mediamorfosa: Transformasi Media Komunikasi di Indonesia”.
penulis :
Merlina Maria Barbara Apul
(Magister Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM)
No responses yet