Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan warisan budaya yang tersebar di berbagai daerah. Tidak sedikit dari produk-produk tersebut yang memiliki kualitas dan karakteristik khas yang terkait dengan asal daerahnya sehingga memiliki potensi Indikasi Geografis yang cukup besar. Menurut pasal 1 ayat 6 UU nomor 20 tahun 2016, Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan. Pembentukan kerangka hukum terkait Indikasi Geografis di Indonesia sudah mulai dilakukan sejak tahun 2001 dengan melibatkan konsultan internasional dan pakar nasional dari badan pemerintah maupun perguruan tinggi (Durand&Stephane, 2017). Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, hingga September 2018 Indikasi Geografis yang sudah terdaftar di Indonesia berjumlah 63 produk yang terdiri dari 57 produk asal Indonesia dan 6 produk asal luar negeri. Jumlah tersebut masih belum signifikan dibandingkan jumlah produk yang berpotensi Indikasi Geografis. Tindak lanjut dalam penegakan perlindungan produk yang telah tersertifikasi dan mendapatkan label Indikasi Geografis pun belum maksimal. Hal ini mengindikasikan adanya permasalahan yang menyebabkan penerapan perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia menjadi terkendala.
Analisis akar masalah yang menyebabkan terkendalanya penerapan perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia sangat penting dilakukan untuk menentukan solusi agar Indikasi Geografis dapat diaplikasikan secara efektif untuk melindungi produk-produk lokal yang menjadi aset daerah mengingat perlindungan internasional tidak bisa didapatkan tanpa perlindungan dari negara asal. Kebutuhan akan perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia merupakan hal yang sangat penting. Hal ini karena Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam hal produk-produk yang dapat dilindungi sebagai Indikasi Geografis. Apabila produk-produk tersebut dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik, diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat lokal dan pada akhirnya dapat meningkatkan kekuatan ekonomi negara. Perlindungan Indikasi Geografis juga penting dilakukan untuk mencegah pemalsuan dan pelanggaran lainnya. Sejumlah pelanggaran terhadap potensi Indikasi Geografis Indonesia sebelumnya telah beberapa kali terjadi, salah satunya kasus yang terjadi pada Kopi Gayo. Pada tahun 1999, salah satu perusahaan Belanda mendaftarkan produk kopi dengan merk dagang “Gayo Mountain Coffee” sehingga pihak lain tidak boleh menjual kopi dengan nama “Gayo” di Belanda, termasuk Indonesia yang merupakan asal dari Kopi Arabika Gayo. Hal ini sangat disayangkan karena nama “Gayo” telah memiliki reputasi yang membuat willingness to pay dari konsumen menjadi lebih besar. Untuk mencegah kasus serupa terjadi pada produk yang berpotensi Indikasi Geografis lainnya, perlindungan Indikasi Geografis menjadi sangat penting. Oleh karena itu, permasalahan yang menyebabkan penerapan perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia menjadi terkendala perlu dianalisis agar perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia dapat berjalan dengan lebih efektif. Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis kendala dan masalah yang dihadapi daerah dalam pelaksanaan perlindungan Indikasi Geografis. Namun penelitian-penelitian tersebut baru sebatas mendeskripsikan dan menganalisis permasalahan yang spesifik di daerah tertentu. Berdasarkan hal tersebut pada artikel ini disampaikan hasil analisis akar masalah dalam penerapan Indikasi Geografis di Indonesia berdasarkan data-data dari penelitian terdahulu sehingga dapat ditentukan alternatif solusinya.
Pariwisata
merupakan kegiatan yang memegang peran penting bagi sektor pembangunan
nasional. Munculnya pariwisata ditandai dengan adanya kegiatan melakukan
perjalanan yang dilakukan oleh seseorang. Sejarah telah membuktikan bahwa
industri pariwisata merupakan industri besar dan strategis, karena terbukti
banyak menyediakan lapangan kerja dan menghasilkan devisa tinggi bagi suatu
negara.
Pariwisata sebagai
suatu industri merupakan industri multisektoral yaitu terdiri dari berbagai
macam bidang usaha yang saling terkaiy seperti jasa perjalanan, akomodasi,
restoran, seni, kerajinan budaya, objek wisata, atraksi wisata dan lain sebagainya.
Kegiatan pariwisata
tidak bisa terlepas dari peran pemerintah setempat beserta masyarakatnya.
Pariwisata tidak akan berjalan tanpa adanya campur tangan dari pemerintah baik
itu pemerintah desa maupun pusat. Berkembangnya pariwisata tidak terlepas dari
peran pemerintah pusat, peran desa adat serta masyarakat lokal.
Di Pulau Bali,
sudah diakui bahwa pariwisata merupakan barometer utama kehidupan
masyarakatnya. Khusus di Nusa Lembongan, kini telah dikembangkan jenis
wisata bahari. Banyaknya tempat menarik
dengan keindahan alam memukau serta didukung budaya yang masih dijaga
kelestariannya, dan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai membuat para
wisatawan tidak bisa mengabaikan Nusa Lembongan sebagai salah satu destinasi
wisata utama.
Kegiatan pariwisata
di Nusa Lembongan sangat berkembang pesat sejak 2014. Namun, pengembangan
pariwisata di Nusa Lembongan tidak melibatkan partisipasi dari pemerintah pusat,
yakni Dinas Pariwisata, baik dalam pengawasan, pembangunan serta perizinan. Yang
berperan dalam pengelolaan pariwisata di Nusa Lembongan adalah desa adat dan
masyarakatnya. Segala hal yang menyangkut pariwisata dinaungi oleh desa adat.
Perkembangan Pariwisata di Desa Jungut Batu Nusa
Lembongan
Pulau Lembongan
atau dalam bahasa Bali disebut Nusa Lembongan adalah sebuah pulau kecil yang
berdekatan dengan Nusa Ceningan, dua kilometer di sebelah barat laut Nusa
Penida. Secara administratif, pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Klungkung,
Bali. Transportasi dari dan ke Nusa Lembongan dapat ditempuh sekitar 1 sampai 1,5
jam dengan speed boat melalui
pelabuhan di Bali Timur dan Pelabuhan Sanur.
Desa Lembongan
banyak mempunyai tempat-tempat menarik untuk dikunjungi wisatawan seperti
pantai berpasir putih yang sangat menarik, goa alam dan buatan yang unik,
tebing laut yang menantang, rawa-rawa yang penuh misteri yang menarik minat
pengunjung untuk datang dan banyak lagi. Wisata terkenal di Desa Lembongan
antara lain: Pantai Tanjung Sanghyang, Dream Beach, Sunset Beach, Lebaoh
(pantai pusat rumput laut), Rumah Bawah Tanah (Underground House) Gala-gala, Goa Sarang Walet Batu Melawang, Art
Shop Center Buanyaran, Rawa Pegadungan dan lain-lain. Daerah ini juga menjadi
lokasi budidaya alga merah Kappaphycus
alvarezii dan Eucheuma denticulatum yang
dapat sekaligus menjadi atraksi wisata.
Awal pengembangan
pariwisata di Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan, dimulai pada 1970-an. Mula-mula
wisatawan yang datang tidak lebih dari 10 Orang, dan tidak dikenal adanya
penginapan. Wisatawan yang datang ke Desa Jungut Batu Nusa Lembongan tinggal di
rumah milik penduduk. Setelah 1980-an mulai dibangun losmen kemudian berkembang
hingga penginapan dan bungalow.
Pada 2014, jumlah
wisatawan yang berkunjung di daerah Jungut Batu berkisar 9.578 orang. Seiring dengan
besarnya jumlah wisatawan yang mengunjungi Jungut Batu, jumlah akomodasi hotel
dan restoran semakin meningkat. Hingga saat ini tercatat 48 akomodasi hotel dan
restoran di Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan.
Pengembangan
pariwisata yang masih sangat kurang adalah aksesbilitas. Jalan raya di Desa
Jungut Batu sudah ada yang memakai aspal namun banyak juga yang masih jalanan
setapak. Hampir seluruh jalan aspal sudah berlubang dan tidak bagus. Apalagi
saat musim hujan, lumayan mengganggu kenyamanan wisatawan dalam melalui jalan-jalan
menuju obyek wisata. Ini merupakan masalah utama yang sudah mendapat perhatian
dari pemerintah desa setempat. Restribusi pariwisata sebesar 15% dialokasikan untuk
memperbaiki aksesbilitas.
Peran Desa Adat terhadap Pengelolaan Pariwisata
Desa Adat sangat
berperan penting dalam pengembangan pariwisata di Desa Jungut Batu, Nusa
Lembongan. Desa Adat membantu memberdayakan masyarakat dengan melakukan
pelatihan dan penyuluhan tentang pentingnya pariwisata dan mengusahakan
peningkatan SDM agar dapat bersaing di dunia pariwisata. Dalam usaha
peningkatan SDM, Desa Adat mengupayakan agar para investor merekrut tenaga
lokal dari masyarakat Desa Jungut Batu (Sumber: Kepala Desa Adat Jungut Batu,
2018).
Di Desa Jungut Batu
terdapat organisasi-organisasi kecil yang bergerak dalam bidang pariwisata
antara lain Perkumpulan Pemilik Public Boat, Perkumpulan Bay Dive, dan
Perkumpulan Organisasi Snorkling. Peranan Desa Adat terhadap
organisasi-organisasi ini adalah menjadi penengah jika antar organisasi terjadi
perselisihan, mengayomi dan mengawasi perkembangan organisasi terkait, memberikan
dana dalam pengembangan organisasi, dan memberikan kesejahteraan organisasi
dalam hal perizinan.
Selain dari yang
disebutkan di atas, peranan Desa Adat sangat penting di dalam pengelolaan
pendapatan hasil kegiatan pariwisata. Hasil pariwisata dipergunakan untuk
perbaikan infrastruktur dan sarana prasarana serta dipergunakan bagi kegiatan
yang bertujuan mensejahterakan masyarakat Desa Jungut Batu.
Investor penanam
modal asing dan atau atas nama wajib memberikan sumbangan untuk pembangunan dan
mempertahankan adat istiadat dengan ketentuan berdasarkan luas wilayah yang
dimiliki oleh investor tersebut dengan ketentuan sebagai berikut
1. Dibawah 10 are
(1000 m2): Rp. 70.000.000,-
2. Diatas 10 are
(1000 m2) sampai 25 are (2500 m2): Rp. 90.000.000,-
3. Diatas 25 are (2500
m2) sampai 50 are (5000 m2): Rp. 120.000.000,-
4. Diatas 50 are (5000
m2) sampai 100 are (10.000 m2):Rp. 250.000.000,-
5. diatas 100 are
(10.000 m2) dan seterusnya: Rp. 450.000.000,-
Sedangkan untuk
Investor Warga Negara Indonesia yang bukan warga Desa Jungut Batu baik secara
adat atau dinas wajib ikut memelihara lingkungan dan membatu pembangunan dengan
ketentuan:
1. Dibawah 10 are (1000
m2) : Rp. 50.000.000,-
2. Diatas 10 are (1000
m2) sampai 25 are ( 2500 m2) : Rp. 65.000.000,-
3. Diatas 25 are (
2500 m2) sampai 50 are ( 5000 m2) : Rp. 85.000.000,-
4. Diatas 50 are (
5000 m2) sampai 100 are (10.000 m2) : Rp. 175.000.000,-
5. diatas 100 are
(10.000 m2) dan seterusnya : Rp. 320.000.000,-
Sumbangan nantinya
digunakan untuk menata lingkungan desa dan mempertahankan adat istiadat baik
Upakara Yadnya maupun memelihara infrastruktur di Desa Pakraman, Jungut Batu. Dana
sumbangan dari investor ini diberikan oleh investor kepada desa adat setiap
tahun. Dana yang disumbangkan sudah menjadi kesepakatan bersama dalam rapat
yang dilakukan bersama pemerintah desa, investor, serta masyarakat. Jadi
investor yang mau menanamkan modal di Desa Jungut Batu harus membayar sesuai
ketentuan biaya dan waktu yang sudah ditetapkan.
Desa Jungut Batu
merupakan desa yang sangat kecil yang minim fasilitas kesehatan. Di sini hanya
ada semacam klinik dan puskesmas desa, belum ada rumah sakit maupun klinik
kesehatan yang mempunyai alat yang lengkap untuk fasilitas berobat. Maka dari
itu, dana dari kegiatan pariwisata sangat bermanfaat untuk membantu pasien
berobat ke sebrang pulau, yaitu rumah sakit yang ada di Kota Denpasar.
Dana bagi pelayanan
masyarakat Desa Jungut Batu:
1. Biaya Dokter
untuk satu kali berobat : Rp. 50.000-,
2. Check-up ke Denpasar : Rp. 100.000-,
3. Tunjangan
Tahunan (opname dan selama
perawatan): Rp. 5.000.000-,
Dana pelayanan
masyarakat ini didapat dari sumbangan pembangunan investor yang membangun sarana
wisata di desa Jungut Batu (Paruman Desa Adat Jungut Batu, 2018).
Perizinan dalam Pembangunan Akomodasi
Perizinan didalam
membangun akomodasi di Desa Jungut Batu merupakan tanggung jawab penuh dari
Desa Adat Desa Jungut Batu. Investor selaku penanam modal asing tidak dapat
mengajukan langsung kepada pemerintah pusat, melainkan membutuhkan ijin dan
rekomendasi dari Desa Adat. Hal yang diperhatikan oleh Desa Adat adalah
pembangunan tetap sesuai dengan konsep Tri
Hita Karana sehingga berjalan selaras dan tidak mengganggu keseimbangan
yang ada. Investor juga harus melengkapi data dengan tujuan meminta rekomendasi
HO kepada masyarakat.
Pada 15 Januari
2012, Desa Adat Jungut Batu menetapkan peraturan berupa Paruman. Paruman adalah
suatu pertemuan yang membahas masalah perizinan mengenai kewajiban investor
jika ingin membangun akomodasi di Desa Jungut Batu Nusa Lembongan. Isi dari
Paruman merupakan sumbangan wajib bagi para investor yang membangun akomodasi
di Desa Jungut Batu.
Dalam pengurusan
IMB (Ijin Mendirikan Bangunan, red),
Desa Jungut Batu memiliki peranan penting di dalam merekomendasikan layak atau
tidaknya akomodasi tersebut dibangun di Desa Jungut Batu. Per Desember 2015,
dilakukan penertiban terhadap IMB agar tidak ada lagi investor yang membangun
bangunannya dahulu sebelum memilki IMB dari Desa Adat Jungut Batu. Adapun
rincian yang diberikan oleh Desa adat dalam hal perizinan pembangunan
infrastruktur dapat dilihat dari jenis-jenis izin usaha seperti SIUP (Surat
Izin Usaha Perdagangan), SITU (Surat Izin Tempat Usaha), NPWP (Nomor Pokok
Wajib Pajak), NRP (Nomor Register Perusahaan) atau TDP (Tanda Daftar
Perusahaan), dan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Dalam pembangunan
akomodasi di Desa Jungut Batu para investor harus melengkapi terlebih dahulu
dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. Jika semua persyaratan sudah terpenuhi,
barulah Desa Adat dapat memberikan izin untuk membangun akomodasi wisata di
Desa Jungut Batu yang kemudian akan diteruskan terhadap pemerintah terkait.
Dapat disimpulkan bahwa Desa Adat sangat berperan penting dalam pengelolaan pariwisata di Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan. Dalam Usaha peningkatan SDM, Desa Adat mengupayakan pemberdayaan masyarakat agar para investor merekrut tenaga lokal. Peran Desa Adat juga sangat penting dalam mengelola pendapatan kegiatan pariwisata yang kemudian dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur, sarana prasarana, dan mensejahterakan masyarakat desa. Perizinan dalam membangun akomodasi merupakan tanggung jawab penuh dari Desa Adat. Investor selaku penanam modal asing tidak dapat mengajukan langsung kepada pemerintah pusat melainkan membutuhkan ijin dan rekomendasi dari Desa Adat. Hal yang diperhatikan oleh Desa Adat adalah pembangunan tetap sesuai dengan konsep kearifan lokal sehingga berjalan selaras dan tidak mengganggu keseimbangan yang ada. Investor juga harus melengkapi data dengan tujuan meminta rekomendasi kepada masyarakat.
Penulis : Roels Ni Made Sri Puspa Dewi, kelahiran 25 Februari 1994 dan, memiliki hobi traveling dan menulis. Perempuan asli bali ini merupakan Awardee LPDP PK-104 yang sedang menempuh studi Magister Kajian Pariwisata di Universitas Gadjah Mada.
Sejak tahun 1999 hingga tahun 2008, berita tentang kesehatan Soeharto,
Presiden RI ke-2 menjadi trend. Informasi tersebut salah satunya dapat
ditemukan dalam kompas.com dengan judul “Riwayat Kesehatan dan Pengobatan Soeharto
Sejak 1999” tertanggal 27 Januari 2008. Isi berita tersebut memuat antara lain:
gejala penyakit, penyakit yang diderita, terapi yang dilakukan, lama dirawat,
dan tempat dirawatnya Presiden ke-2 RI tersebut. Konten tersebut merupakan isi
yang ada di dalam rekam medis seorang pasien dan bersifat rahasia.
Lalu, bagaimana hukum di Indonesia memandang hal ini? Saat ini, rekam
medis diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(selanjutnya disebut Undang-Undang Praktik Kedokteran). Pasal 47 ayat (2)
Undang-Undang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa rekam medis harus disimpan
dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana
pelayanan kesehatan. Pelanggaran terhadap hal tersebut, diancam dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah). Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 79 huruf b
Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Saat berita tentang kesehatan Presiden ke-2 RI tersebut booming, Undang-Undang
Praktik Kedokteran ini belum ada. Pada saat itu, peraturan yang dapat digunakan
adalah Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang Rekam
Medis (selanjutnya disebut Permenkes Rekam Medis Tahun 1989). Pasal 12 ayat (1)
Permenkes Rekam Medis Tahun 1989 menyatakan bahwa pemaparan isi rekam medis
hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien dengan ijin tertulis
pasien. Selanjutnya dalam Pasal 12 ayat (1) Permenkes Rekam Medis Tahun 1989
menyatakan bahwa pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam
medis tanpa ijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan Permenkes Rekam Medis Tahun 1989 tersebut, maka rekam
medis seorang pasien dapat dibuka kepada publik dengan ijin tertulis dari
pasien dan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawatnya atau tanpa
ijin pasien yang dilakukan oleh pimpinan sarana pelayanan kesehatan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lalu, bagaimana jika yang membuka
rahasia rekam medis seorang pasien bukanlah orang yang diperbolehkan secara
hukum? Misalnya yang dilakukan oleh pasien sendiri, keluarganya, atau
pengacaranya.
Sesuai Permenkes Rekam Medis Tahun 1989 tersebut, rekam medis seorang
pasien dapat dibuka dengan ijin tertulis dari pasien. Namun, jika yang membuka
rekam medis bukan dokter atau dokter gigi atau pimpinan sarana pelayanan
kesehatan, maka konsekuensi yang ditimbulkan dari dibukanya rahasia rekam medis
tersebut menjadi tanggung jawab pasien sendiri atau pihak yang diberi wewenang
oleh pasien. Dengan demikian, dokter atau dokter gigi atau pimpinan sarana
pelayanan kesehatan tidak dapat dituntut secara hukum oleh pasien atau pihak
yang diberi wewenang oleh pasien jika terjadi sengketa akibat dibukanya rahasia
rekam medis tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa rekam medis bersifat rahasia dan hanya dokter atau dokter gigi atau pimpinan sarana pelayanan kesehatan yang diijinkan secara hukum membuka rekam medis tersebut kepada publik. Jika, pasien atau orang yang diberi wewenang oleh pasien yang membuka rekam medis tersebut, maka konsekuensi secara hukum ditanggung oleh pasien atau orang yang diberi wewenang oleh pasien tersebut. Hal ini pun berlaku bagi seorang presiden saat ia menjadi pasien dari seorang dokter atau dokter gigi dan dirawat di sarana pelayanan kesehatan. Segala konsekuensi hukum dari dibukanya rekam medis kepada publik terkait kondisi kesehatan presiden menjadi tanggung jawabnya sendiri atau orang yang diberi kuasa untuk membuka rahasia rekam medisnya.
Penulis : Rika Rianty
Sarjana Kesehatan Masyarakat (saat ini sedang menempuh pendidikan Magister Hukum Kesehatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
Recent Comments